!doctype>
!doctype>
Kamis, 20 Oktober 2011
wong urip nang donya ki mung mampir ngombe
07. Mampir Ngombe.mp3
Kawruho sejatine wong urip
urip mono bebasan mung mampir ngombe
panjeriting wong urip sing ora nduwe
ngupoyo bogo direwangi mbanting rogo
mung asile ora misro, ora sepiro
rino wengi panas udan ora diroso
Sandang pangan kekurangan sarwo
cecingkrangan
Mrono-mrene mung tandah dadi rasanan
nora kuwat, pengen sugih wedi yen kangelan
nuruti godhane setan, malah salah dalan
ngorbanake sedulur ugo katresnan
mburu bondo kadonyan nggolek pesugihan
Ngelingono neng ndonyo amung sedhelo
drajat pangkat bondo donyo bisa onyo
suk yen mati kabeh mau ora digowo
Ketahuilah sesungguhnya orang hidup itu ibarat hanya mampir minum, jeritan orang hidup yang tiada punya mencari makan dengan membanting tulang, hasilnya tiada sebanding, tiada seberapa siang malam panas hujan tiada dirasa. Sandang pangan kekurangan serba tidak kecukupan, ke sana kemari hanya jadi omongan tiada tahan, ingin kaya takut hadapi kesulitan menuruti goda setan, malah salah jalan mengorbankan saudara & teman-teman juga cinta memburu harta dunia mencari kekayaan. Ingatlah di dunia ini hanya sejenak saja Derajat pangkat harta dunia bisa sirna besok jika mati semuanya itu tidak dibawa ]
ternyata "urip mung mampir ngombe" itu di plesetkan dalam berbagai tafsiran. Semua bertolak dari kesementaraan hidup yang ada di balik paham "urip mung mampir ngombe" itu. Hidup ini hanya sementara, maka "aji mumpung" pun dimainkan.
Kesementaraan ini mengundang orang memandang bahwa hidup ini tidak penting, dan akan berakhir, hanya surga yang abadi, dan takkan berakhir. Maka kejarlah surga jangan kejar dunia; Vanitas Vanitatum Mundi - kesia sia-an dari ke sia-sia-an dunia.
Kesementaraan itu membuat pemisahan yang radikal antara surga dan dunia, yang fana dan yang baka, yang jelek dan yang baik, yang nista dan yang mulia. Dunia ini akan berakhir, fana, seluruhnya jelek dan nista. Karena hanya surgalah yang abadi, takkan berakhir dan seluruhnya baik serta mulia. Atau karena dunia material ini yang seluruhnya benar dan ada, maka surga spiritual itu seluruhnya tidak benar dan tidak ada?
Mungkin banyak lagi akibat parah dari "urip mung mampir ngombe" dalam pengertian demikian. Tapi mestikah demikian paham itu dimengerti? Bagaimana jika kita tidak membuat pemisahan radikal dari pengertian "urip mung mampir ngombe"; antara kesementaraan dan keabadian; dunia dan surga; kebudayaan siang dan kebudayaan malam. "Urip mung mampir ngombe" tak lagi dimengerti sebagai penyepele-an dunia dan pengagungan surga, pelecehan ke fana-an dan pe-agung-an surga, melainkan sikap untuk tidak terikat apa pun, agar menjadi ciptaan yang sempurna dan bahagia, disini ataupun disana kelak
Apa gunanya meng-agung-kan surga, kalau itu hanya menistakan manusia? Apa gunanya dunia dengan segala isinya, harta dan kekuasaannya, kalau itu memperbudak dan mengikat kita?
Dalam pengertian demikian, "urip mung mampir ngombe" adalah sikap yang dalam istilah rohani disebut "indifference". Kata Muhammad Al-Gazzali; " jangan kau lewati hal-hal di dunia ini, tapi jangan pula kau mencari nya, pahami benar, untuk apa benda - benda ciptaan di dunia ini ada, dan pergunakan ke semua nya sesuai dengan tujuan keberadaannya. " Itulah sikap yang membebaskan.
"Urip mung mampir ngombe" kiranya bukan berarti permusuhan terhadap dunia, atau persekongkolan dengan dunia. Mungkin sikap lepas-bebas itu yang harus dimunculkan dalam hidup sehari - hari. Bukan lagi Vanitas Vanitatum Mundi, tetapi peluang dan kesempatan untuk jadi manusia yang bebas, bahagia dan tak terikat apapun.
Rabu, 19 Oktober 2011
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
Kendang
Kendang adalah instrumen pemimpin. Pengendang adalah konduktor dari musik gamelan. Ada
5 ukuran kendang dari 20 cm – 45 cm.
Saron Alat musik pukul dari bronze dengan disanggah kayu. Ada 3 macam Saron; Saron Barung, Saron Peking, Saron Demung.
Bonang Barung Terdiri dari 2 baris peralatan dari bronze dimainkan dengan 2 alat pukul.
Slentem
Lempengan bronze ini diletakan diatas bambu untuk resonansinya.
Gender
Hampir sama dengan slentem dengan lempengan bronze lebih banyak.
Gambang
Lempengan kayu yang diletakkan diatas frame kayu juga.
Gong Setiap set slendro dan pelog dilengkapi dengan 3 gong. Dua Gong besar (Gong Ageng) dan satu gong Suwukan sekitar 90 cm, terbuat dari bronze, Gong menandakan akhir dari bagian lagu yang liriknya panjang.
Kempul Gong kecil, untuk menandakan lagu yang bagiannya berirama pendek. Setiap set slendro dan pelog terdiri dari 6 atau 10 kempul.
Kenong Semacam gong kecil diatas tatakan, satu set komplet bisa 10 kenong baik set slendro atau pelog.
Ketug
Disebut juga kenong kecil, menandakan jeda antar lirik lagu.
Clempung
A string instrument, each slendro and pelog set needs one clempung.
Siter
Tiap set slendro dan pelog memerlukan 1 siter.
Suling
Setiap set slendro dan pelog memerlukan 1 suling.
rebab Alat musik gesek Keprak and Kepyak Diperlukan untuk pertunjukan tari
Bedug
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E-F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer.
Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 -12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
Kendang
Kendang adalah instrumen pemimpin. Pengendang adalah konduktor dari musik gamelan. Ada
5 ukuran kendang dari 20 cm – 45 cm.
Saron Alat musik pukul dari bronze dengan disanggah kayu. Ada 3 macam Saron; Saron Barung, Saron Peking, Saron Demung.
Bonang Barung Terdiri dari 2 baris peralatan dari bronze dimainkan dengan 2 alat pukul.
Slentem
Lempengan bronze ini diletakan diatas bambu untuk resonansinya.
Gender
Hampir sama dengan slentem dengan lempengan bronze lebih banyak.
Gambang
Lempengan kayu yang diletakkan diatas frame kayu juga.
Gong Setiap set slendro dan pelog dilengkapi dengan 3 gong. Dua Gong besar (Gong Ageng) dan satu gong Suwukan sekitar 90 cm, terbuat dari bronze, Gong menandakan akhir dari bagian lagu yang liriknya panjang.
Kempul Gong kecil, untuk menandakan lagu yang bagiannya berirama pendek. Setiap set slendro dan pelog terdiri dari 6 atau 10 kempul.
Kenong Semacam gong kecil diatas tatakan, satu set komplet bisa 10 kenong baik set slendro atau pelog.
Ketug
Disebut juga kenong kecil, menandakan jeda antar lirik lagu.
Clempung
A string instrument, each slendro and pelog set needs one clempung.
Siter
Tiap set slendro dan pelog memerlukan 1 siter.
Suling
Setiap set slendro dan pelog memerlukan 1 suling.
rebab Alat musik gesek Keprak and Kepyak Diperlukan untuk pertunjukan tari
Bedug
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E-F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer.
Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 -12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.
Pembabakan Pagelaran Wayang
Pagelaran wayang (khususnya pagelaran wayang kulit purwa), seperti yang kita kenal pada masa sekarang, seringkali dipahami secara sepotong-sepotong dan tidak lengkap. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa pagelaran wayang selalu dilakukan pada malam hari semata. Ini merupakan pemahaman yang lazim di kalangan masyarakat kita. Tetapi, apakah kita pernah memahami bagaimana sebenarnya pelaksanaan pagelaran wayang secara lengkap?
Pembabakan pagelaran, adalah pembagian pagelaran menjadi penggal-penggal waktu tertentu, yang kemudian disebut ‘babak’. Setiap babak dalam suatu pagelaran, masing-masing pada dasarnya mempunyai dukungan sejumlah unsur pembangun babak; misalnya : adegan, peran, fungsi, sifat, atau suasana tertentu; baik dalam bentuk sendiri-sendiri, maupun dalam bentuk gabungan antar sekurang-kurangnya dua unsur atau lebih.
Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya secara garis besar pembabakannya bisa digolongkan menjadi tiga; yaitu :
Babak awal (babak pembuka); biasanya merupakan berbagai permainan awal karawitan atau permainan awal ricikan gamelan yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Babak pagelaran wayang kulît pûrwâ; merupakan permainan karawitan atau permainan ricikan gamelan, yang mendukung secara langsung pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Babak akhir (babak penutup); biasanya merupakan berbagai permainan akhir karawitan atau permainan akhir ricikan gamelan yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ; penggal-penggal waktu yang disebut ‘babak’ itu, lebih lazim disebut ‘pathet’. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa suatu pagelaran wayang kulît pûrwâ, penggal-penggal waktu permainannya, dapat disebut ‘pathet’.[1] Kesulitan yang kemudian segera timbul, adalah bahwa penggunaan istilah pathet, sebenarnya hanya berkenaan secara langsung dengan pembabakan waktu yang digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ saja; dan tidak ada hubungan sama sekali dengan babak lainnya, yang berada di luar kegiatan pagelaran wayang kulît pûrwâ. Ini misalnya, bisa dilihat dari penggunaan istilah babak pathet nem, babak pathet sângâ, atau babak pathet manyurâ; yang merupakan istilah baku yang sebenarnya hanya digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Dengan demikian, sejumlah babak lainnya yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya tidak bisa menggunakan istilah pathet. Sedangkan kenyataannya, seluruh kegiatan tersebut (dari sejak babak awal, babak pagelaran, sampai dengan babak akhir), biasanya merupakan satu kesatuan pertunjukan; yang secara umum seluruhnya itu disebut ‘pagelaran’.
Jika dikhususkan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, maka pelaksanaan suatu pagelaran, biasanya pembabakannya dibagi menurut pathet, adegan, atau gabungan keduanya. Disebabkan adanya kelaziman sebagai akibat kebiasaan dan tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad; pembabakan pagelaran lainnya, seringkali juga mengacu (menggunakan patokan atau referensi) berupa pembabakan yang digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ. Sedangkan panjang-pendeknya rentang waktu yang digunakan pada setiap pathet atau setiap babak; biasanya lebih ditentukan oleh panjang-pendeknya adegan. Meskipun demikian, ada juga patokan kasar yang bersifat tidak terlalu mutlak harus dipenuhi atau diikuti; yang berkait langsung dengan penetapan panjang-pendek penggal-penggal waktu pada pembabakan pagelaran; khususnya yang digunakan pada pelaksanaan pagelaran wayang kulît pûrwâ.[2]
Patut dipahami pula, bahwa pada masa yang lampau, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya diiring menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro saja dan tidak menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg. Disebabkan oleh hal ini, maka penyebutan babak-babak dalam pagelaran wayang, umumnya menggunakan istilah-istilah yang hanya dikenal pada laras (tangga-nada) sléndro.[3] Berdasarkan hasil penelitian para pakar sejarah, penggunaan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro dan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg, untuk mengiringi pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya baru dikenal sejak sekitar masa kerajaan Mataram dan sesudahnya; yakni setelah terjadi pengembangan sistem pagelaran wayang kulît pûrwâ dan juga perubahan/pengembangan bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ.[4]
Pembabakan pagelaran yang didasarkan kepada pagelaran wayang kulît purwâ, merupakan suatu pembabakan yang dapat dikatakan paling lengkap susunannya. Meskipun permainan gamelan pada masa sekarang tidaklah selalu digunakan untuk mengiring pertunjukan wayang, tetapi kelaziman itu tetaplah digunakan dengan penyesuaian seperlunya. Sehingga dengan demikian, jika lengkap urutan susunan pembabakannya akan dibagi menjadi sebagai berikut:
Babak pambukâ pagelaran
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet lindûr
Babak pathet sângâ
Babak pathet nyamat
Babak pathet manyurâ
Babak panutup pagelaran
Jika pembabakannya dilakukan tidak terlalu lengkap; misalnya, jika babak pathet lindûr dihilangkan atau digabungkan dengan babak pathet nem; sedangkan babak pathet nyamat dihilangkan atau digabungkan dengan babak pathet sângâ; maka urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak pambukâ pagelaran
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ
Babak panutup pagelaran
Jika pembabakannya lebih dipersingkat lagi, yaitu misalnya babak pambukâ pagelaran dan babak panutûp pagelaran dihilangkan; maka urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ
Sedangkan jika pembabakannya digunakan untuk keperluan bukan pagelaran wayang, maka babak talu akan dihilangkan. Ini merupakan susunan pembabakan yang paling singkat, dan biasanya digunakan untuk berbagai jenis pagelaran; yang bukan merupakan pagelaran wayang; misalnya : pagelaran klenèngan, pagelaran uyôn-uyôn, atau sendra-tari. Dengan demikian, urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ
Untuk keperluan pagelaran lainnya, tidaklah selalu mutlak harus mengikuti pola urutan susunan pembabakan seperti yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, untuk iringan beksan (tarian) yang bersifat pethilan (cuplikan, potongan; Inggris : fragment), hanya digunakan sebagian; atau, salah satu babak saja. Demikian pula suatu konser karawitan yang digunakan untuk mengiring suatu adegan drama (drama radio, televisi, sinetron, atau film), menggunakan pembabakan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam pelaksanaan suatu pagelaran, sangat disarankan (sangat dianjurkan) untuk mengurutkan permainan karawitan sesuai dengan pathet-pathet yang telah ditentukan. Penetapan pathet ini, berkait erat dengan suasana dan acuan nada yang tertentu, sesuai dengan pathet yang bersangkutan. Namun kenyataannya, dalam sejumlah pagelaran, kadang-kadang diketahui ada juga penyimpangan dalam hal pelaksanaannya. Misalnya, permainan karawitan sedang pada saat pathet sângâ; tetapi karena sesuatu hal, para panjak diminta untuk memainkan suatu gendhîng yang menggunakan pathet manyurâ. Meskipun kejadian ini tidak terlalu sering dan bukan merupakan kelaziman, namun sesekali terjadi juga. Kondisi ini, umumnya segera berakibat terjadinya beberapa hal, misalnya: terjadinya perubahan suasana atau terjadinya perubahan acuan nada. Selain itu, kondisi ini juga bisa berakibat terjadinya kekeliruan nada awal suara vokal (Inggris : false) yang fatal, sebagai akibat terjadinya perubahan acuan nada pada saat yang tidak tepat. Misalnya, tinggi-rendah suara/nada awal nyanyian yang dilakukan oleh panjak swârâ, bisa tidak tepat (terlalu tinggi atau terlalu rendah) pada nada yang seharusnya.
Babak pambukâ pagelaran
Sebuah pagelaran tradisional Jawa, biasanya diawali dengan permainan sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran. Dalam hal ini, gendhîng pambukâ pagelaran adalah sejumlah gendhîng (lagu) yang dimainkan sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai. Jika mengacu kepada pagelaran wayang kulît purwâ, semalam suntuk atau sehari suntuk, maka permainan sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran lazimnya dilakukan sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran lazim dilakukan pada pagi hari atau pada sore hari. Tujuan utama dimainkannya sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran, adalah untuk menyambut kedatangan para tamu, menyemarakkan dan menghangatkan suasana, sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai. Selain itu, permainan gendhîng pambukâ pagelaran juga berperan memberikan tanda bahwa pagelaran akan dimulai. Di wilayah pedalaman atau pedesaan, permainan gendhîng pambukâ pagelaran seringkali dimaksudkan untuk memberitahu penduduk desa-desa lain, supaya mengetahui bahwa di desa tempat gamelan tersebut dimainkan, akan diadakan suatu pertunjukan atau pagelaran.[5]
Dari segi waktu memainkannya, gendhîng pambukâ pagelaran dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu klenèngan soré yang dimainkan pada sore hari; dan klenèngan ésûk yang dimainkan pada pagi hari.
Klenèngan soré; adalah suatu konser karawitan gendhîng pambukâ pagelaran yang dimainkan pada saat sore hari, menjelang malam hari. Karenanya, kemudian sering disebut klenèngan soré, pagelaran gendhîng soré, atau disingkat menjadi gendhîng soré. Penggunaan istilah klenèngan soré, mempunyai makna bahwa gendhîng-gendhîng-nya dimainkan dengan cara garap yang lebih halus. Pada pagelaran wayang kulît purwâ semalam suntuk, permainan gendhîng pambukâ pagelaran lazimnya dilakukan di antara sekitar pukul lima sore, sampai dengan sekitar pukul delapan malam; yaitu sampai saat sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan.
Klenèngan ésûk; adalah suatu konser karawitan gendhîng pambukâ pagelaran yang dimainkan pada saat pagi hari, menjelang siang hari. Karenanya, kemudian sering disebut sering disebut pagelaran gendhîng esûk, klenèngan énjîng, klenèngan ésûk, atau disingkat menjadi gendhîng ésûk. Penggunaan istilah klenèngan ésûk, mempunyai makna bahwa gendhîng-gendhîng-nya dimainkan dengan cara garap yang lebih halus. Pada pagelaran wayang kulît purwâ yang dilakukan pada siang hari, permainan gendhîng pambukâ pagelaran dilaksanakan di antara sekitar pukul lima pagi, sampai dengan sekitar pukul delapan pagi; yaitu sampai saat sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan.
Beberapa kebiasaan dan adat tradisi yang sangat baik dan seringkali diterapkan di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan; adalah adanya berbagai kegiatan gebyakan[6] yang dilaksanakan di dalam waktu yang dialokasikan untuk memainkan gendhîng-gendhîng pambukâ pagelaran. Misalnya :
Kegiatan gebyakan karawitan; yaitu suatu pentas konser karawitan Jâwâ. Dalam kegiatan ini, penabûh atau panjak yang memainkan ricikan gamelan, biasanya diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar nabûh gamelan (membunyikan atau menabuh ricikan gamelan) atau belajar olah karawitan.[7] Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka.
Kegiatan gebyakan beksâ; yaitu suatu pentas tari tradisional Jawa. Dalam kegiatan ini, biasanya penarinya diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar olah beksâ[8] (tari tradisional Jawa). Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka. Karena merupakan hasil latihan dasar, maka biasanya pentas tarinya dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana. Misalnya : berbentuk tari pethilan (Inggris : fragment), yaitu tari yang diambil dari potongan suatu cerita tertentu, atau berbentuk tari lepas.
Kegiatan gebyakan panembrâmâ;[9] yaitu pentas menyanyikan lagu atau tembang tradisional Jawa, yang dilakukan secara bersama-sama (koor). Biasanya, kegiatan ini diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar olah swara.[10] Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka.
Kegiatan gebyakan semacam ini, biasanya dilaksanakan dengan tujuan memberikan kesempatan kepada kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak pengikut kegiatan latian (berlatih) kesenian (misalnya : karawitan atau menabuh gamelan, menari, menyanyi, dan sebagainya) di desa tersebut; untuk menunjukkan dan memamerkan hasil latian (hasil berlatih) atau hasil kegiatan berkesenian di desa tersebut, di hadapan khalayak ramai, para tamu, para pemuka desa, para sesepûh atau tetua adat, atau para pamông prâjâ (para pejabat pemerintah) setempat. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran, diakhiri sesaat menjelang pagelaran yang sesungguhnya akan dimulai. Pada pagelaran wayang kulît purwâ, permainan gendhîng pambukâ pagelaran dihentikan pada saat rangkaian gendhîng talu hendak dimainkan; yaitu sekitar pukul delapan malam; atau, pukul delapan pagi.
Sesuai dengan tujuannya, yang diharapkan akan menyemarakkan suasana sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai, serta untuk menyambut para tamu; maka komposisi gendhîng (lagu) yang dimainkan, biasanya juga dipilih yang bersuasana gembira, ramai, dan berpola permainan karawitan sederhana. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran, biasanya juga menampilkan permainan jenis gendhîng sorân atau gendhîng bonangan.
Gendhîng sorân; atau, sering juga disebut klenèngan sorân; adalah suatu konser karawitan, yang bunyi ricikan gamelan-nya dihasilkan dengan cara memukul keras-keras; sehingga suara gendhîng (lagu) yang dihasilkan sangat sorâ (keras, kuat; Inggris : loud). Gendhîng sorân,umumnya sangat menonjolkan suara keras dan nyaring sejumlah ricikan balungan tertentu; yaitu : ricikan sarôn panembûng atau ricikan demûng, ricikan sarôn pambarûng, serta ricikan pekîng. Gendhîng sorân, biasanya mempunyai rangkaian notasi gendhîng (lagu) yang cenderung relatif sederhana, dimainkan dengan moda lâyâ tanggûng (sedang), seseg (cepat), atau lâyâ tamban (lambat); serta moda tabûh sorâ (ricikan gamelan dibunyikan dengan cara dipukul keras-keras, sehingga bunyi yang dihasilkan sangat keras/nyaring).
Gendhîng bonangan; adalah sejenis gendhîng sorân, yang permainan karawitan-nya lebih menonjolkan permainan ricikan bonang pambarûng atau ricikan bonang barûng serta ricikan bonang panerûs. Gendhîng bonangan, biasanya mempunyai rangkaian notasi gendhîng (lagu) yang cenderung relatif sederhana; dimainkan dalam moda lâyâ tanggûng (sedang) atau lâyâ tamban (lambat); serta moda tabûh sorâ (ricikan gamelan dibunyikan dengan cara dipukul keras-keras, sehingga bunyi yang dihasilkan sangat keras/nyaring).
Kedua jenis gendhîng di atas, biasanya dimainkan secara ‘instrumental’ (tidak dilengkapi vokal).
Meskipun tidak ada aturan yang secara khusus mengatur atau mengharuskan diurutkannya laras (tangga-nada) dan pathet pada permainan gendhîng pambukâ pagelaran, tetapi sangat dianjurkan untuk mengikuti pola urutan laras (tangga-nada) dan pathet yang baku dan lazim. Sehingga pada saat permainan gendhîng pambukâ pagelaran terakhir dimainkan serta kemudian diakhiri; laras dan pathet diharapkan pada kedudukan laras sléndro pathet manyurâ; atau, pada kedudukan laras pélôg pathet barang.
Dalam pemilihan pola gendhîng (lagu) yang dimainkannya, dianjurkan untuk memulai permainan gendhîng pambukâ pagelaran dengan pola gendhîng (lagu) yang sederhana; misalnya : pola lancaran; dan diakhiri dengan pola gendhîng (lagu) yang lebih rumit; misalnya : pola ladrang, pola ketawang, atau pola gendhîng kethûk loro (2) kerep. Dengan demikian, hirarki serta urutan pola susunan gendhîng, laras, dan pathet, dapat dicapai secara serasi; dimulai dari susunan gendhîng yang paling sederhana, dan diakhiri dengan gendhîng yang relatif lebih sulit susunannya.
Seperti sudah dijelaskan, pola permainan gendhîng pambukâ pagelaran biasanya sederhana, ramai, dan bersuasana gembira. Namun, pola ini lazimnya diatur sedemikian rupa, sehingga semakin mendekati saat selesai dimainkannya gendhîng pambukâ pagelaran (menjelang dimainkannya rangkaian gendhîng talu), permainan karawitan menjadi semakin tenang. Lazimnya, pemilihan gendhîng (lagu) juga diatur sedemikian rupa, sehingga menjelang usai, gendhîng (lagu) yang dimainkan dipilihkan yang dilengkapi dengan vokal (dilengkapi sindhènan dan gerôngan) dan menggunakan moda garap yang lebih halus; sehingga berkesan lebih anggun.
Pathet Nem
Bagian pertama dari pembabakan waktu pagelaran wayang, lazim disebut pathet nem. Pada awalnya pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan yang ber-laras (bertangga-nada) sléndro. Hal itulah yang menyebabkan berbagai istilah yang digunakan, juga berasal dari istilah-istilah yang digunakan pada laras (tangga-nada) sléndro. Meskipun kemudian pagelaran wayang kulît pûrwâ juga menggunakan laras (tangga-nada) pélôg, namun penyebutan yang menggunakan istilah berasal dari laras (tangga-nada) sléndro ini tetap dipakai; bahkan berlangsung sampai saat ini. Gendhîng-gendhîng (lagu) yang dimainkan pada babak pathet nem, khususnya pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, umumnya juga meliputi menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet nem dan laras (tangga-nada) pélôg pathet limâ.
Kadang-kadang, pada babak pathet nem juga dimainkan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) sléndro pathet manyurâ, atau bahkan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) pathet pélôg nem; yang ‘dipinjam’ untuk digunakan atau dimainkan pada babak pathet nem. Pola ini disebut ‘pathet silihan’ (pathet yang dipinjam).
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ pada pathet nem, jika dilakukan secara lengkap, terdiri atas :
Adegan jejer jangkep pathet nem
Adegan miji punggâwâ
Adegan tamu rawûh
Adegan jengkar kedhatôn/bedhôlan
Adegan gapuran
Adegan jejer kedhatôn
Adegan jejer paséban njawi
Adegan budhalan
Adegan prampôgan
Adegan jejer sabrang
Adegan budhalan sabrang
Adegan perang gagal
Adegan pathet lindûr
Adegan-adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada (digunakan) dalam suatu pagelaran wayang; melainkan disesuaikan dengan keperluan. Setiap adegan pada pathet nem, lazimnya diiring gendhîng-gendhîng tertentu yang sesuai karakternya dengan adegan yang dimaksud. Dalam beberapa hal, gendhîng-gendhîng itu bahkan mempunyai sifat dan cara garap yang juga berbeda.
Pathet Lindûr
Babak pathet lindûr, adalah suatu adegan (bisa juga berbentuk suatu jejer) yang dilaksanakan menjelang akhir seluruh permainan babak pathet nem. Adegan pathet lindûr, biasanya merupakan adegan yang relatif pendek. Selain itu, fungsi adegan ini adalah sebagai ‘babak peralihan’ atau ‘babak transisi’; yakni dari babak pathet nem ke babak pathet sângâ. Secara hirarki pembabakan, sebenarnya babak pathet lindûr masih termasuk ke dalam babak pathet nem (masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari babak pathet nem). Namun jika melihat kepada fungsi dan suasana yang dibangkitkannya; maka sebenarnya babak pathet lindûr merupakan suatu babak tersendiri; yang posisinya berada di antara babak pathet nem dan babak pathet sângâ.
Jika pada adegan sebelumnya (terutama pada pertengahan babak pathet nem), pagelaran wayang lazim diiring menggunakan gendhîng-gendhîng yang umumnya sangat dinamis; maka pada adegan ini iringan menjadi sangat berbeda. Umumnya, iringan gendhîng yang digunakan pada babak pathet lindûr, mempunyai moda garap yang lebih lurûh (lebih tenang). Bahkan, sejak tahun 1970-an sampai sekarang, ada upaya untuk mengubah suasana babak pathet lindûr secara lebih extrim.[11] Sebagai contoh, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ gagrak (gaya, corak) Surâkartâ masa sekarang, babak pathet lindûr seringkali diiring menggunakan pola permainan karawitan gagrak (gaya, corak) Mataram. Pada masa dahulu, hal ini termasuk salah satu yang ditabukan, karena dianggap ‘nerak pakem’ (melanggar aturan baku); yakni mencampur-adukkan gagrak (corak, gaya).
Istilah lindûr, berasal dari kata ‘nglindûr’; yang artinya : orang yang bermimpi, sambil mengucapkan kalimat atau kata-kata yang tidak begitu jelas. Mimpi seperti ini, biasanya berlangsung pada saat hari belum mencapai tengah malam. Memang babak pathet lindûr biasanya dimainkan pada waktu yang bersamaan dengan saat orang ‘nglindûr’; yakni menjelang tengah malam. Secara filosofis, hal ini juga berkait erat dengan alur cerita dalam pagelaran wayang, yang pada saat sampai pada babak itu, masih penuh dengan ketidak-jelasan.
Penggarapan vokal pada babak pathet lindûr, umumnya juga agak mengacu kepada kondisi orang yang sedang nglindûr. Misalnya, menggunakan lûk céngkôk atau lekuk-liku alunan suara yang irâmâ-nya relatif sangat lambat, pengucapan kalimat atau kata yang relatif panjang, dan kebanyakan juga menggunakan suara yang bernada tinggi. Kesan nglindûr ini, terasa sangat kuat (dominan), pada saat dhalang melagukan sulukan pathet lindûr; yang biasanya di-tembang-kan pada saat-saat akhir (sebagai penutup) seluruh permainan babak pathet nem; menjelang pergantian ke babak pathet sângâ.
Pathet Sângâ
Babak pathet sângâ, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, merupakan suatu istilah yang lazim digunakan untuk menyebut pembabakan waktu tengah pagelaran; yang menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet sângâ atau laras (tangga-nada) pélôg pathet nem. Babak ini, umumnya dimainkan pada sekitar tengah malam (jika pagelaran wayang kulît pûrwâ dilaksanakan malam hari); atau pada sekitar tengah hari (jika pagelaran wayang kulît pûrwâ dilaksanakan pada siang hari).
Pada awalnya, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan yang ber-laras (bertangga-nada) sléndro. Hal itulah yang menyebabkan berbagai istilah yang digunakan, berasal dari istilah-istilah yang digunakan pada laras (tangga-nada) sléndro. Meskipun kemudian pagelaran wayang kulît pûrwâ juga menggunakan laras (tangga-nada) pélôg, namun penyebutan yang menggunakan istilah berasal dari laras (tangga-nada) sléndro ini tetap dipakai.
Gendhîng-gendhîng yang dimainkan pada babak pathet sângâ, secara umum bersuasana lurûh (tenang), bernada dasar lagu rata-rata relatif agak tinggi; dengan pengecualian yang digunakan untuk mengiring beberapa adegan tertentu, yang menghendaki suasana yang lain. Disebabkan faktor sejarah dan kebiasaan, babak pathet sângâ sebagian besar diiring menggunakan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) sléndro pathet sângâ. Sementara gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) pélôg pathet nem, yang secara umum bersuasana agak sereng (kurang tenang), bernada dasar lagu relatif agak tinggi; agak kurang banyak digunakan; kecuali untuk beberapa adegan tertentu yang memerlukannya.
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ pada pathet sângâ, jika lengkap terdiri dari :
Adegan jejer jangkep pathet sângâ
Adegan banyôlan
Adegan satriyâ lumaksânâ
Adegan alas-alasan
Adegan gârâ-gârâ
Adegan miji punggâwâ
Adegan perang kembang
Adegan jejer pathet nyamat
Adegan-adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada dalam pagelaran wayang, melainkan disesuaikan dengan keperluan. Setiap adegan pada pathet sângâ, lazim diiring gendhîng-gendhîng tertentu, yang masing-masing mempunyai sifat dan cara garap yang berbeda.
Pathet Nyamat
Babak pathet nyamat, secara hirakis pembabakan, sebenarnya masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari babak pathet sângâ. Namun disebabkan perannya yang berfungsi sebagai transisi; babak ini seringkali dianggap berdiri sendiri di antara babak pathet sângâ dan babak pathet manyurâ.
Babak pathet nyamat, adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu adegan jejer yang dilaksanakan setelah selesainya adegan perang kembang. Adegan pada babak pathet nyamat ini, seringkali digunakan sebagai peralihan (transisi) dari babak pathet sângâ ke babak pathet manyurâ. Karena merupakan babak peralihan (babak transisi), maka gendhîng yang digunakan sebagai pengiring umumnya mempunyai rangkaian notasi yang relatif pendek.
Bahkan ada dhalang yang lebih suka melakukannya dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Misalnya, adegan jejernya dilakukan menggunakan iringan gendhîng pathet sângâ. Setelah permainan gendhîng dihentikan dan jejer dilaksanakan secukupnya (masih dalam babak pathet sângâ); kemudian di tengah-tengah ântâwacânâ (dialog) antar tokoh wayang, dhalang ‘memindahkan’ suasana dan babak secara seketika, menjadi babak pathet manyurâ menggunakan sulukan (nyanyian dhalang).
Gendhîng-gendhîng yang secara khusus digunakan untuk mengiring adegan jejer pada babak pathet nyamat, biasanya mempunyai karakter yang juga bersifat transisional. Dalam hal ini, terjadi sejumlah anomali (kelainan atau ketidak-sesuaian) yang berhubungan dengan kesepakatan/pembakuan aturan penggunaan nada-nada tertentu pada suatu pathet tertentu.
Pada sejumlah kasus, gendhîng-gendhîng yang dinyatakan sebagai gendhîng laras sléndro pathet nyamat; ada kecenderungan sudah menggunakan gông bernada nem (6); tetapi suasana gendhîng-nya secara umum masih berkesan mempunyai suasana pathet sângâ yang terasa masih sangat dominan. Untuk diketahui, penggunaan gông yang bernada nem (6); biasanya digunakan pada gendhîng-gendhîng laras sléndro pathet manyurâ atau gendhîng-gendhîng laras sléndro pathet nem; dan bukannya pada laras sléndro pathet sângâ.
Pada sejumlah kasus, gendhîng-gendhîng yang dinyatakan sebagai gendhîng laras pelôg pathet nyamat; ada kecenderungan sudah menggunakan gông bernada dhadha (3) atau barang (7); tetapi suasana gendhîng-nya secara umum masih berkesan mempunyai suasana pathet sângâ (laras pelôg pathet nem) yang terasa masih sangat dominan. Untuk diketahui, penggunaan gông yang bernada dhadha (3) atau barang (7); biasanya digunakan pada gendhîng-gendhîng laras pelôg pathet barang; dan bukannya pada laras pelôg pathet nem.
Adegan jejer pada babak pathet nyamat, tidak selalu ada pada setiap pagelaran wayang kulît pûrwâ. Penggunaannya, lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan pagelaran dan alur cerita. Secara garis besar, babak pathet nyamat merupakan bagian paling akhir dari seluruh bagian dan adegan dari babak pathet sângâ.
Pathet Manyurâ
Pathet Manyura
Babak pathet manyurâ, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, merupakan suatu istilah yang lazim digunakan untuk menyebut pembabakan waktu akhir pagelaran yang menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet manyurâ dan laras (tangga-nada) pélôg pathet barang.
Penggunaan istilah pathet manyurâ, sebenarnya kurang tepat, karena nyatanya pada masa penggunaannya dikenal adanya pemakaian laras (tangga-nada) sléndro pathet manyurâ dan juga laras (tangga-nada) pélôg pathet barang. Namun harus kita ingat, bahwa pada masa dahulu pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan laras (tangga-nada) sléndro saja. Karenanya, kemudian hanya dikenal istilah ‘pathet manyurâ’, yang sebenarnya merupakan pemendekan atau berasal dari istilah ‘laras sléndro pathet manyurâ’.
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ, pada babak pathet manyurâ, jika lengkap, terdiri dari :
Adegan jejer jangkep pathet manyurâ
Adegan jejer pathet manyurâ srambahan
Adegan perang brubûh
Adegan tayungan
Adegan tancep kayôn
Adegan golèk
Setiap adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada pada setiap pagelaran wayang kulît pûrwâ. Selain itu, setiap adegan tersebut, umumnya mempunyai gendhîng-gendhîng pengiringnya yang bersifat khas.
Panutup pagelaran
Babak panutup pagelaran, merupakan bagian terakhir dari suatu pagelaran. Babak ini, digunakan untuk menutup sebuah pagelaran. Waktu yang digunakan untuk melakukan babak ini, biasanya sangat pendek. Biasanya, dilakukan para panjak dengan cara memainkan satu buah gendhîng panutup pagelaran yang bersifat khas. Gendhîng semacam ini, biasanya dirancang dan disesuaikan dengan kelompok, grup, lembaga, instansi, dinas, perusahaan, atau organisasi kesenian para panjak. Namun, kadang-kadang bisa juga ditemukan ada sekelompok panjak yang memainkan suatu konser karawitan secara lengkap sebagai penutup suatu pagelaran, sehingga memakan waktu cukup panjang. Pada penutupan pagelaran wayang kulît pûrwâ, memainkan gendhîng panutûp pagelaran secara lengkap dan panjang, umumnya bertujuan menghabiskan waktu; atau, untuk menunggu pagi hari (setelah melakukan pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk).
_________________________________________________________
[1] Istilah pathet, mempunyai beberapa pengertian yang berlainan makna dan artinya. Penjelasan rinci tentang pathet; dibahas pada bagian lain dari buku ini.
[2] Tentang hal ini, dibahas secara khusus pada bagian lain dari buku ini.
[3] Adanya sejumlah istilah atau sebutan pada pembabakan pagelaran, misalnya, sebutan untuk pathet; yang pada dasarnya mengacu kepada berbagai istilah yang hanya terdapat pada laras (tangga-nada) sléndro; sedikit-banyak juga membuktikan bahwa laras (tangga-nada) sléndro kemungkinan besar memang sudah ada lebih dahulu.
[4] Situasi ini terjadi sebagai akibat masuk dan berkembangnya agama Islam di pulau Jawa. Pengembangan dan perubahan bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ oleh para wali pada masa itu, disebabkan agama Islam memerlukan media untuk melakukan penyebaran agama; sedangkan agama Islam tidak memperbolehkan penggunaan bentuk yang menyerupai manusia. Salah satu penyebabnya, adalah untuk menghindari terjadinya proses pemujaan terhadap benda-benda yang mirip manusia, sehingga bisa dianggap setara dengan pemujaan berhala. Dengan alasan itu, bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ lalu dikembangkan, diubah, dan disederhanakan (distilasi); sehingga seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ pada masa sebelumnya, lebih realistis, lebih mirip dengan gambar bentuk/rupa manusia dilihat dari arah samping depan.
Bentuk/rupa gambar manusia pada lukisan wayang tradisional Bali (yang sampai sekarang masih banyak dibuat orang), yang menggambarkan tokoh-tokoh atau manusia dari arah samping depan; merupakan cara penggambaran yang berasal dari ratusan tahun yang lampau, dan terbukti tidak mengalami perubahan sama sekali (hanya sarana atau alat gambar dan media gambarnya yang berubah)
Bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ versi Jawa pada masa lampau, bisa dilihat pada wayang kulît pûrwâ versi Bali (yang masih dimainkan orang sampai saat ini). Demikian pula bentuk pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Jawa pada masa lampau; kira-kira sama dengan bentuk pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Bali. Seperti diketahui, bentuk/rupa awal wayang kulît pûrwâ versi Bali, pada dasarnya berasal dari pulau Jawa (khususnya Jawa Timur). Bentuk/rupa asli wayang pûrwâ versi Jawa atau versi Bali ini (berbentuk gambar orang/manusia dilihat dari samping depan), bisa dilihat pada gambar-gambar timbul (relief) di dinding candi Penataran (di Jawa Timur). Pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Bali, hanya menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro, dan tidak menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg.
Sisa-sisa bentuk/rupa asli wayang pûrwâ, masih bisa kita kenali pada sejumlah tokoh wayang kulît pûrwâ gagrak Mataram (Yogyâkartâ). Ciri-cirinya, digambarkan mempunyai dua buah mata; wajahnya dilihat dari arah samping depan; serta mempunyai bentuk tubuhnya lebih pendek, sehingga lebih mewakili bentuk tubuh manusia dengan proporsi yang lebih realistis. Tokoh-tokoh wayang kulît pûrwâ yang bisa dianggap mewakili bentuk/rupa asli ini, misalnya : Anôman, atau tokoh-tokoh yaksâ (raksasa).
[5] Di wilayah pedalaman, suara gamelan bisa mencapai jarak yang relatif jauh (beberapa kilometer), tanpa bantuan perangkat sistem penguat suara.
[6] Gebyakan, adalah suatu kegiatan pentas, yang dilaksanakan sebagai salah satu cara untuk mempertunjukkan hasil suatu proses belajar atau berlatih, selama beberapa waktu tertentu; misalnya : pentas tari, pentas karawitan, pentas drama, pentas menyanyi, dan sebagainya.
[7] Olah karawitan, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan karawitan atau kemampuan memainkan ricikan gamelan.
[8] Olah beksâ, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan beksa (tari) atau kemampuan menari.
[9] Panembrâmâ, setara artinya dengan koor (menyanyi secara bersama-sama). Di Jawa Barat, lazim disebut rampak sekar.
[10] Olah swârâ, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan seni suara atau kemampuan untuk menyanyi dan menghasilkan mutu suara yang baik.
[11] Pola mengiringi babak pathet lindûr menggunakan gendhîng dan pola permainan karawitan gagrak (gaya, corak) Mataram ini, dimulai oleh Ki Nartô Sabdô almarhum; sejak sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, cukup banyak kalangan pecinta seni karawitan Jawa, yang menentang upaya Ki Nartô Sabdô ini; karena dianggap ‘nerak pakem’ (melanggar aturan baku). Pada masa itu, Ki Nartô Sabdô, menggunakan dan menggabungkan berbagai pola dan gagrak (corak, gaya, mahzab) permainan karawitan secara bebas. Secara umum, sebenarnya beliau mendasarkan pola permainan karawitan-nya pada gagrak (gaya, corak) Surâkartâ. Tetapi, mungkin karena dinamika dan kreatifitasnya yang sangat tinggi, beliau bisa menggabungkan berbagai gagrak (gaya, corak) ke dalam pola permainan karawitan-nya. Misalnya, gagrak Semarang, gagrak Surâkartâ, gagrak Mataram, gagrak Jâwâ-Timûr, atau gagrak Banyumas.
Ki Nartô Sabdô almarhum, tinggal di kota Semarang (rumah beliau, di jalan Anggrek, sedikit di sebelah utara lapang Simpang Lima, yang sangat terkenal di kota Semarang). Ini mungkin juga merupakan salah satu faktor penting. Karena dengan tinggal di kota Semarang yang jauh dari pusat-pusat mahzab lainnya (misalnya : Surâkartâ atau Yogyâkartâ), maka beliau dengan mudah bisa menghindarkan diri dari terjadinya berbagai pengaruh kuat dan benturan kepentingan. Selain itu, pada masa itu tidak ada dhalang lain yang bertindak seberani Ki Nartô Sabdô almarhum, dalam hal melakukan berbagai pengubahan, pengembangan, dan pola garap karawitan. Hal ini, dikerjakan secara sangat intensif bersama kelompok (grup) keseniannya, yang bernama ‘Côndông Raôs’. Berbagai gendhîng (lagu) yang sangat khas, telah dibuat oleh Ki Nartô Sabdô. Jumlahnya, mungkin telah mencapai ratusan; dan sampai saat ini gendhîng-gendhîng hasil karyanya ternyata masih disukai dan masih digunakan orang; termasuk oleh para dhalang lainnya.
Sejak tahun 1970-an itu, karena pengaruhnya yang sangat kuat, dan karena masyarakat pencinta kesenian Jawa ternyata lebih bisa menerima dan bahkan sama sekali tidak mempersoalkannya; maka pola permainan seperti ini akhirnya diterima juga oleh berbagai kalangan lain, yang semula menentangnya. Perlu diketahui juga, bahwa pada masa itu, melalui angket yang dibuat Radio Republik Indonesia (RRI), Ki Nartô Sabdô bahkan pernah menerima ‘gelar’ sebagai dhalang paling populer (paling disukai) oleh masyarakat. Bahkan di antara dhalang-dhalang lain, lama sesudah beliau meninggal sekalipun, nama Ki Nartô Sabdô rupanya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ini bisa dibuktikan, dengan masih banyaknya stasiun pemancar radio (terutama stasiun pemancar radio swasta niaga) yang dengan setia menyiarkan berbagai hasil rekaman pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dimainkan oleh Ki Nartô Sabdô almarhum; atau menyiarkan rekaman permainan karawitan-nya yang sangat khas. Pada masa ini, bahkan dengan mudah orang masih bisa membeli rekaman pagelaran wayang atau rekaman gendhîng uyôn-uyôn (dalam bentuk kaset), yang dimainkan oleh Ki Nartô Sabdô almarhum bersama kelompoknya, duapuluh atau tigapuluh tahun yang lampau.
Pembabakan pagelaran, adalah pembagian pagelaran menjadi penggal-penggal waktu tertentu, yang kemudian disebut ‘babak’. Setiap babak dalam suatu pagelaran, masing-masing pada dasarnya mempunyai dukungan sejumlah unsur pembangun babak; misalnya : adegan, peran, fungsi, sifat, atau suasana tertentu; baik dalam bentuk sendiri-sendiri, maupun dalam bentuk gabungan antar sekurang-kurangnya dua unsur atau lebih.
Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya secara garis besar pembabakannya bisa digolongkan menjadi tiga; yaitu :
Babak awal (babak pembuka); biasanya merupakan berbagai permainan awal karawitan atau permainan awal ricikan gamelan yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Babak pagelaran wayang kulît pûrwâ; merupakan permainan karawitan atau permainan ricikan gamelan, yang mendukung secara langsung pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Babak akhir (babak penutup); biasanya merupakan berbagai permainan akhir karawitan atau permainan akhir ricikan gamelan yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ; penggal-penggal waktu yang disebut ‘babak’ itu, lebih lazim disebut ‘pathet’. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa suatu pagelaran wayang kulît pûrwâ, penggal-penggal waktu permainannya, dapat disebut ‘pathet’.[1] Kesulitan yang kemudian segera timbul, adalah bahwa penggunaan istilah pathet, sebenarnya hanya berkenaan secara langsung dengan pembabakan waktu yang digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ saja; dan tidak ada hubungan sama sekali dengan babak lainnya, yang berada di luar kegiatan pagelaran wayang kulît pûrwâ. Ini misalnya, bisa dilihat dari penggunaan istilah babak pathet nem, babak pathet sângâ, atau babak pathet manyurâ; yang merupakan istilah baku yang sebenarnya hanya digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Dengan demikian, sejumlah babak lainnya yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya tidak bisa menggunakan istilah pathet. Sedangkan kenyataannya, seluruh kegiatan tersebut (dari sejak babak awal, babak pagelaran, sampai dengan babak akhir), biasanya merupakan satu kesatuan pertunjukan; yang secara umum seluruhnya itu disebut ‘pagelaran’.
Jika dikhususkan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, maka pelaksanaan suatu pagelaran, biasanya pembabakannya dibagi menurut pathet, adegan, atau gabungan keduanya. Disebabkan adanya kelaziman sebagai akibat kebiasaan dan tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad; pembabakan pagelaran lainnya, seringkali juga mengacu (menggunakan patokan atau referensi) berupa pembabakan yang digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ. Sedangkan panjang-pendeknya rentang waktu yang digunakan pada setiap pathet atau setiap babak; biasanya lebih ditentukan oleh panjang-pendeknya adegan. Meskipun demikian, ada juga patokan kasar yang bersifat tidak terlalu mutlak harus dipenuhi atau diikuti; yang berkait langsung dengan penetapan panjang-pendek penggal-penggal waktu pada pembabakan pagelaran; khususnya yang digunakan pada pelaksanaan pagelaran wayang kulît pûrwâ.[2]
Patut dipahami pula, bahwa pada masa yang lampau, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya diiring menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro saja dan tidak menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg. Disebabkan oleh hal ini, maka penyebutan babak-babak dalam pagelaran wayang, umumnya menggunakan istilah-istilah yang hanya dikenal pada laras (tangga-nada) sléndro.[3] Berdasarkan hasil penelitian para pakar sejarah, penggunaan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro dan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg, untuk mengiringi pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya baru dikenal sejak sekitar masa kerajaan Mataram dan sesudahnya; yakni setelah terjadi pengembangan sistem pagelaran wayang kulît pûrwâ dan juga perubahan/pengembangan bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ.[4]
Pembabakan pagelaran yang didasarkan kepada pagelaran wayang kulît purwâ, merupakan suatu pembabakan yang dapat dikatakan paling lengkap susunannya. Meskipun permainan gamelan pada masa sekarang tidaklah selalu digunakan untuk mengiring pertunjukan wayang, tetapi kelaziman itu tetaplah digunakan dengan penyesuaian seperlunya. Sehingga dengan demikian, jika lengkap urutan susunan pembabakannya akan dibagi menjadi sebagai berikut:
Babak pambukâ pagelaran
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet lindûr
Babak pathet sângâ
Babak pathet nyamat
Babak pathet manyurâ
Babak panutup pagelaran
Jika pembabakannya dilakukan tidak terlalu lengkap; misalnya, jika babak pathet lindûr dihilangkan atau digabungkan dengan babak pathet nem; sedangkan babak pathet nyamat dihilangkan atau digabungkan dengan babak pathet sângâ; maka urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak pambukâ pagelaran
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ
Babak panutup pagelaran
Jika pembabakannya lebih dipersingkat lagi, yaitu misalnya babak pambukâ pagelaran dan babak panutûp pagelaran dihilangkan; maka urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ
Sedangkan jika pembabakannya digunakan untuk keperluan bukan pagelaran wayang, maka babak talu akan dihilangkan. Ini merupakan susunan pembabakan yang paling singkat, dan biasanya digunakan untuk berbagai jenis pagelaran; yang bukan merupakan pagelaran wayang; misalnya : pagelaran klenèngan, pagelaran uyôn-uyôn, atau sendra-tari. Dengan demikian, urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ
Untuk keperluan pagelaran lainnya, tidaklah selalu mutlak harus mengikuti pola urutan susunan pembabakan seperti yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, untuk iringan beksan (tarian) yang bersifat pethilan (cuplikan, potongan; Inggris : fragment), hanya digunakan sebagian; atau, salah satu babak saja. Demikian pula suatu konser karawitan yang digunakan untuk mengiring suatu adegan drama (drama radio, televisi, sinetron, atau film), menggunakan pembabakan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Dalam pelaksanaan suatu pagelaran, sangat disarankan (sangat dianjurkan) untuk mengurutkan permainan karawitan sesuai dengan pathet-pathet yang telah ditentukan. Penetapan pathet ini, berkait erat dengan suasana dan acuan nada yang tertentu, sesuai dengan pathet yang bersangkutan. Namun kenyataannya, dalam sejumlah pagelaran, kadang-kadang diketahui ada juga penyimpangan dalam hal pelaksanaannya. Misalnya, permainan karawitan sedang pada saat pathet sângâ; tetapi karena sesuatu hal, para panjak diminta untuk memainkan suatu gendhîng yang menggunakan pathet manyurâ. Meskipun kejadian ini tidak terlalu sering dan bukan merupakan kelaziman, namun sesekali terjadi juga. Kondisi ini, umumnya segera berakibat terjadinya beberapa hal, misalnya: terjadinya perubahan suasana atau terjadinya perubahan acuan nada. Selain itu, kondisi ini juga bisa berakibat terjadinya kekeliruan nada awal suara vokal (Inggris : false) yang fatal, sebagai akibat terjadinya perubahan acuan nada pada saat yang tidak tepat. Misalnya, tinggi-rendah suara/nada awal nyanyian yang dilakukan oleh panjak swârâ, bisa tidak tepat (terlalu tinggi atau terlalu rendah) pada nada yang seharusnya.
Babak pambukâ pagelaran
Sebuah pagelaran tradisional Jawa, biasanya diawali dengan permainan sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran. Dalam hal ini, gendhîng pambukâ pagelaran adalah sejumlah gendhîng (lagu) yang dimainkan sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai. Jika mengacu kepada pagelaran wayang kulît purwâ, semalam suntuk atau sehari suntuk, maka permainan sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran lazimnya dilakukan sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran lazim dilakukan pada pagi hari atau pada sore hari. Tujuan utama dimainkannya sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran, adalah untuk menyambut kedatangan para tamu, menyemarakkan dan menghangatkan suasana, sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai. Selain itu, permainan gendhîng pambukâ pagelaran juga berperan memberikan tanda bahwa pagelaran akan dimulai. Di wilayah pedalaman atau pedesaan, permainan gendhîng pambukâ pagelaran seringkali dimaksudkan untuk memberitahu penduduk desa-desa lain, supaya mengetahui bahwa di desa tempat gamelan tersebut dimainkan, akan diadakan suatu pertunjukan atau pagelaran.[5]
Dari segi waktu memainkannya, gendhîng pambukâ pagelaran dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu klenèngan soré yang dimainkan pada sore hari; dan klenèngan ésûk yang dimainkan pada pagi hari.
Klenèngan soré; adalah suatu konser karawitan gendhîng pambukâ pagelaran yang dimainkan pada saat sore hari, menjelang malam hari. Karenanya, kemudian sering disebut klenèngan soré, pagelaran gendhîng soré, atau disingkat menjadi gendhîng soré. Penggunaan istilah klenèngan soré, mempunyai makna bahwa gendhîng-gendhîng-nya dimainkan dengan cara garap yang lebih halus. Pada pagelaran wayang kulît purwâ semalam suntuk, permainan gendhîng pambukâ pagelaran lazimnya dilakukan di antara sekitar pukul lima sore, sampai dengan sekitar pukul delapan malam; yaitu sampai saat sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan.
Klenèngan ésûk; adalah suatu konser karawitan gendhîng pambukâ pagelaran yang dimainkan pada saat pagi hari, menjelang siang hari. Karenanya, kemudian sering disebut sering disebut pagelaran gendhîng esûk, klenèngan énjîng, klenèngan ésûk, atau disingkat menjadi gendhîng ésûk. Penggunaan istilah klenèngan ésûk, mempunyai makna bahwa gendhîng-gendhîng-nya dimainkan dengan cara garap yang lebih halus. Pada pagelaran wayang kulît purwâ yang dilakukan pada siang hari, permainan gendhîng pambukâ pagelaran dilaksanakan di antara sekitar pukul lima pagi, sampai dengan sekitar pukul delapan pagi; yaitu sampai saat sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan.
Beberapa kebiasaan dan adat tradisi yang sangat baik dan seringkali diterapkan di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan; adalah adanya berbagai kegiatan gebyakan[6] yang dilaksanakan di dalam waktu yang dialokasikan untuk memainkan gendhîng-gendhîng pambukâ pagelaran. Misalnya :
Kegiatan gebyakan karawitan; yaitu suatu pentas konser karawitan Jâwâ. Dalam kegiatan ini, penabûh atau panjak yang memainkan ricikan gamelan, biasanya diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar nabûh gamelan (membunyikan atau menabuh ricikan gamelan) atau belajar olah karawitan.[7] Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka.
Kegiatan gebyakan beksâ; yaitu suatu pentas tari tradisional Jawa. Dalam kegiatan ini, biasanya penarinya diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar olah beksâ[8] (tari tradisional Jawa). Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka. Karena merupakan hasil latihan dasar, maka biasanya pentas tarinya dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana. Misalnya : berbentuk tari pethilan (Inggris : fragment), yaitu tari yang diambil dari potongan suatu cerita tertentu, atau berbentuk tari lepas.
Kegiatan gebyakan panembrâmâ;[9] yaitu pentas menyanyikan lagu atau tembang tradisional Jawa, yang dilakukan secara bersama-sama (koor). Biasanya, kegiatan ini diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar olah swara.[10] Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka.
Kegiatan gebyakan semacam ini, biasanya dilaksanakan dengan tujuan memberikan kesempatan kepada kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak pengikut kegiatan latian (berlatih) kesenian (misalnya : karawitan atau menabuh gamelan, menari, menyanyi, dan sebagainya) di desa tersebut; untuk menunjukkan dan memamerkan hasil latian (hasil berlatih) atau hasil kegiatan berkesenian di desa tersebut, di hadapan khalayak ramai, para tamu, para pemuka desa, para sesepûh atau tetua adat, atau para pamông prâjâ (para pejabat pemerintah) setempat. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran, diakhiri sesaat menjelang pagelaran yang sesungguhnya akan dimulai. Pada pagelaran wayang kulît purwâ, permainan gendhîng pambukâ pagelaran dihentikan pada saat rangkaian gendhîng talu hendak dimainkan; yaitu sekitar pukul delapan malam; atau, pukul delapan pagi.
Sesuai dengan tujuannya, yang diharapkan akan menyemarakkan suasana sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai, serta untuk menyambut para tamu; maka komposisi gendhîng (lagu) yang dimainkan, biasanya juga dipilih yang bersuasana gembira, ramai, dan berpola permainan karawitan sederhana. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran, biasanya juga menampilkan permainan jenis gendhîng sorân atau gendhîng bonangan.
Gendhîng sorân; atau, sering juga disebut klenèngan sorân; adalah suatu konser karawitan, yang bunyi ricikan gamelan-nya dihasilkan dengan cara memukul keras-keras; sehingga suara gendhîng (lagu) yang dihasilkan sangat sorâ (keras, kuat; Inggris : loud). Gendhîng sorân,umumnya sangat menonjolkan suara keras dan nyaring sejumlah ricikan balungan tertentu; yaitu : ricikan sarôn panembûng atau ricikan demûng, ricikan sarôn pambarûng, serta ricikan pekîng. Gendhîng sorân, biasanya mempunyai rangkaian notasi gendhîng (lagu) yang cenderung relatif sederhana, dimainkan dengan moda lâyâ tanggûng (sedang), seseg (cepat), atau lâyâ tamban (lambat); serta moda tabûh sorâ (ricikan gamelan dibunyikan dengan cara dipukul keras-keras, sehingga bunyi yang dihasilkan sangat keras/nyaring).
Gendhîng bonangan; adalah sejenis gendhîng sorân, yang permainan karawitan-nya lebih menonjolkan permainan ricikan bonang pambarûng atau ricikan bonang barûng serta ricikan bonang panerûs. Gendhîng bonangan, biasanya mempunyai rangkaian notasi gendhîng (lagu) yang cenderung relatif sederhana; dimainkan dalam moda lâyâ tanggûng (sedang) atau lâyâ tamban (lambat); serta moda tabûh sorâ (ricikan gamelan dibunyikan dengan cara dipukul keras-keras, sehingga bunyi yang dihasilkan sangat keras/nyaring).
Kedua jenis gendhîng di atas, biasanya dimainkan secara ‘instrumental’ (tidak dilengkapi vokal).
Meskipun tidak ada aturan yang secara khusus mengatur atau mengharuskan diurutkannya laras (tangga-nada) dan pathet pada permainan gendhîng pambukâ pagelaran, tetapi sangat dianjurkan untuk mengikuti pola urutan laras (tangga-nada) dan pathet yang baku dan lazim. Sehingga pada saat permainan gendhîng pambukâ pagelaran terakhir dimainkan serta kemudian diakhiri; laras dan pathet diharapkan pada kedudukan laras sléndro pathet manyurâ; atau, pada kedudukan laras pélôg pathet barang.
Dalam pemilihan pola gendhîng (lagu) yang dimainkannya, dianjurkan untuk memulai permainan gendhîng pambukâ pagelaran dengan pola gendhîng (lagu) yang sederhana; misalnya : pola lancaran; dan diakhiri dengan pola gendhîng (lagu) yang lebih rumit; misalnya : pola ladrang, pola ketawang, atau pola gendhîng kethûk loro (2) kerep. Dengan demikian, hirarki serta urutan pola susunan gendhîng, laras, dan pathet, dapat dicapai secara serasi; dimulai dari susunan gendhîng yang paling sederhana, dan diakhiri dengan gendhîng yang relatif lebih sulit susunannya.
Seperti sudah dijelaskan, pola permainan gendhîng pambukâ pagelaran biasanya sederhana, ramai, dan bersuasana gembira. Namun, pola ini lazimnya diatur sedemikian rupa, sehingga semakin mendekati saat selesai dimainkannya gendhîng pambukâ pagelaran (menjelang dimainkannya rangkaian gendhîng talu), permainan karawitan menjadi semakin tenang. Lazimnya, pemilihan gendhîng (lagu) juga diatur sedemikian rupa, sehingga menjelang usai, gendhîng (lagu) yang dimainkan dipilihkan yang dilengkapi dengan vokal (dilengkapi sindhènan dan gerôngan) dan menggunakan moda garap yang lebih halus; sehingga berkesan lebih anggun.
Pathet Nem
Bagian pertama dari pembabakan waktu pagelaran wayang, lazim disebut pathet nem. Pada awalnya pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan yang ber-laras (bertangga-nada) sléndro. Hal itulah yang menyebabkan berbagai istilah yang digunakan, juga berasal dari istilah-istilah yang digunakan pada laras (tangga-nada) sléndro. Meskipun kemudian pagelaran wayang kulît pûrwâ juga menggunakan laras (tangga-nada) pélôg, namun penyebutan yang menggunakan istilah berasal dari laras (tangga-nada) sléndro ini tetap dipakai; bahkan berlangsung sampai saat ini. Gendhîng-gendhîng (lagu) yang dimainkan pada babak pathet nem, khususnya pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, umumnya juga meliputi menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet nem dan laras (tangga-nada) pélôg pathet limâ.
Kadang-kadang, pada babak pathet nem juga dimainkan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) sléndro pathet manyurâ, atau bahkan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) pathet pélôg nem; yang ‘dipinjam’ untuk digunakan atau dimainkan pada babak pathet nem. Pola ini disebut ‘pathet silihan’ (pathet yang dipinjam).
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ pada pathet nem, jika dilakukan secara lengkap, terdiri atas :
Adegan jejer jangkep pathet nem
Adegan miji punggâwâ
Adegan tamu rawûh
Adegan jengkar kedhatôn/bedhôlan
Adegan gapuran
Adegan jejer kedhatôn
Adegan jejer paséban njawi
Adegan budhalan
Adegan prampôgan
Adegan jejer sabrang
Adegan budhalan sabrang
Adegan perang gagal
Adegan pathet lindûr
Adegan-adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada (digunakan) dalam suatu pagelaran wayang; melainkan disesuaikan dengan keperluan. Setiap adegan pada pathet nem, lazimnya diiring gendhîng-gendhîng tertentu yang sesuai karakternya dengan adegan yang dimaksud. Dalam beberapa hal, gendhîng-gendhîng itu bahkan mempunyai sifat dan cara garap yang juga berbeda.
Pathet Lindûr
Babak pathet lindûr, adalah suatu adegan (bisa juga berbentuk suatu jejer) yang dilaksanakan menjelang akhir seluruh permainan babak pathet nem. Adegan pathet lindûr, biasanya merupakan adegan yang relatif pendek. Selain itu, fungsi adegan ini adalah sebagai ‘babak peralihan’ atau ‘babak transisi’; yakni dari babak pathet nem ke babak pathet sângâ. Secara hirarki pembabakan, sebenarnya babak pathet lindûr masih termasuk ke dalam babak pathet nem (masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari babak pathet nem). Namun jika melihat kepada fungsi dan suasana yang dibangkitkannya; maka sebenarnya babak pathet lindûr merupakan suatu babak tersendiri; yang posisinya berada di antara babak pathet nem dan babak pathet sângâ.
Jika pada adegan sebelumnya (terutama pada pertengahan babak pathet nem), pagelaran wayang lazim diiring menggunakan gendhîng-gendhîng yang umumnya sangat dinamis; maka pada adegan ini iringan menjadi sangat berbeda. Umumnya, iringan gendhîng yang digunakan pada babak pathet lindûr, mempunyai moda garap yang lebih lurûh (lebih tenang). Bahkan, sejak tahun 1970-an sampai sekarang, ada upaya untuk mengubah suasana babak pathet lindûr secara lebih extrim.[11] Sebagai contoh, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ gagrak (gaya, corak) Surâkartâ masa sekarang, babak pathet lindûr seringkali diiring menggunakan pola permainan karawitan gagrak (gaya, corak) Mataram. Pada masa dahulu, hal ini termasuk salah satu yang ditabukan, karena dianggap ‘nerak pakem’ (melanggar aturan baku); yakni mencampur-adukkan gagrak (corak, gaya).
Istilah lindûr, berasal dari kata ‘nglindûr’; yang artinya : orang yang bermimpi, sambil mengucapkan kalimat atau kata-kata yang tidak begitu jelas. Mimpi seperti ini, biasanya berlangsung pada saat hari belum mencapai tengah malam. Memang babak pathet lindûr biasanya dimainkan pada waktu yang bersamaan dengan saat orang ‘nglindûr’; yakni menjelang tengah malam. Secara filosofis, hal ini juga berkait erat dengan alur cerita dalam pagelaran wayang, yang pada saat sampai pada babak itu, masih penuh dengan ketidak-jelasan.
Penggarapan vokal pada babak pathet lindûr, umumnya juga agak mengacu kepada kondisi orang yang sedang nglindûr. Misalnya, menggunakan lûk céngkôk atau lekuk-liku alunan suara yang irâmâ-nya relatif sangat lambat, pengucapan kalimat atau kata yang relatif panjang, dan kebanyakan juga menggunakan suara yang bernada tinggi. Kesan nglindûr ini, terasa sangat kuat (dominan), pada saat dhalang melagukan sulukan pathet lindûr; yang biasanya di-tembang-kan pada saat-saat akhir (sebagai penutup) seluruh permainan babak pathet nem; menjelang pergantian ke babak pathet sângâ.
Pathet Sângâ
Babak pathet sângâ, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, merupakan suatu istilah yang lazim digunakan untuk menyebut pembabakan waktu tengah pagelaran; yang menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet sângâ atau laras (tangga-nada) pélôg pathet nem. Babak ini, umumnya dimainkan pada sekitar tengah malam (jika pagelaran wayang kulît pûrwâ dilaksanakan malam hari); atau pada sekitar tengah hari (jika pagelaran wayang kulît pûrwâ dilaksanakan pada siang hari).
Pada awalnya, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan yang ber-laras (bertangga-nada) sléndro. Hal itulah yang menyebabkan berbagai istilah yang digunakan, berasal dari istilah-istilah yang digunakan pada laras (tangga-nada) sléndro. Meskipun kemudian pagelaran wayang kulît pûrwâ juga menggunakan laras (tangga-nada) pélôg, namun penyebutan yang menggunakan istilah berasal dari laras (tangga-nada) sléndro ini tetap dipakai.
Gendhîng-gendhîng yang dimainkan pada babak pathet sângâ, secara umum bersuasana lurûh (tenang), bernada dasar lagu rata-rata relatif agak tinggi; dengan pengecualian yang digunakan untuk mengiring beberapa adegan tertentu, yang menghendaki suasana yang lain. Disebabkan faktor sejarah dan kebiasaan, babak pathet sângâ sebagian besar diiring menggunakan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) sléndro pathet sângâ. Sementara gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) pélôg pathet nem, yang secara umum bersuasana agak sereng (kurang tenang), bernada dasar lagu relatif agak tinggi; agak kurang banyak digunakan; kecuali untuk beberapa adegan tertentu yang memerlukannya.
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ pada pathet sângâ, jika lengkap terdiri dari :
Adegan jejer jangkep pathet sângâ
Adegan banyôlan
Adegan satriyâ lumaksânâ
Adegan alas-alasan
Adegan gârâ-gârâ
Adegan miji punggâwâ
Adegan perang kembang
Adegan jejer pathet nyamat
Adegan-adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada dalam pagelaran wayang, melainkan disesuaikan dengan keperluan. Setiap adegan pada pathet sângâ, lazim diiring gendhîng-gendhîng tertentu, yang masing-masing mempunyai sifat dan cara garap yang berbeda.
Pathet Nyamat
Babak pathet nyamat, secara hirakis pembabakan, sebenarnya masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari babak pathet sângâ. Namun disebabkan perannya yang berfungsi sebagai transisi; babak ini seringkali dianggap berdiri sendiri di antara babak pathet sângâ dan babak pathet manyurâ.
Babak pathet nyamat, adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu adegan jejer yang dilaksanakan setelah selesainya adegan perang kembang. Adegan pada babak pathet nyamat ini, seringkali digunakan sebagai peralihan (transisi) dari babak pathet sângâ ke babak pathet manyurâ. Karena merupakan babak peralihan (babak transisi), maka gendhîng yang digunakan sebagai pengiring umumnya mempunyai rangkaian notasi yang relatif pendek.
Bahkan ada dhalang yang lebih suka melakukannya dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Misalnya, adegan jejernya dilakukan menggunakan iringan gendhîng pathet sângâ. Setelah permainan gendhîng dihentikan dan jejer dilaksanakan secukupnya (masih dalam babak pathet sângâ); kemudian di tengah-tengah ântâwacânâ (dialog) antar tokoh wayang, dhalang ‘memindahkan’ suasana dan babak secara seketika, menjadi babak pathet manyurâ menggunakan sulukan (nyanyian dhalang).
Gendhîng-gendhîng yang secara khusus digunakan untuk mengiring adegan jejer pada babak pathet nyamat, biasanya mempunyai karakter yang juga bersifat transisional. Dalam hal ini, terjadi sejumlah anomali (kelainan atau ketidak-sesuaian) yang berhubungan dengan kesepakatan/pembakuan aturan penggunaan nada-nada tertentu pada suatu pathet tertentu.
Pada sejumlah kasus, gendhîng-gendhîng yang dinyatakan sebagai gendhîng laras sléndro pathet nyamat; ada kecenderungan sudah menggunakan gông bernada nem (6); tetapi suasana gendhîng-nya secara umum masih berkesan mempunyai suasana pathet sângâ yang terasa masih sangat dominan. Untuk diketahui, penggunaan gông yang bernada nem (6); biasanya digunakan pada gendhîng-gendhîng laras sléndro pathet manyurâ atau gendhîng-gendhîng laras sléndro pathet nem; dan bukannya pada laras sléndro pathet sângâ.
Pada sejumlah kasus, gendhîng-gendhîng yang dinyatakan sebagai gendhîng laras pelôg pathet nyamat; ada kecenderungan sudah menggunakan gông bernada dhadha (3) atau barang (7); tetapi suasana gendhîng-nya secara umum masih berkesan mempunyai suasana pathet sângâ (laras pelôg pathet nem) yang terasa masih sangat dominan. Untuk diketahui, penggunaan gông yang bernada dhadha (3) atau barang (7); biasanya digunakan pada gendhîng-gendhîng laras pelôg pathet barang; dan bukannya pada laras pelôg pathet nem.
Adegan jejer pada babak pathet nyamat, tidak selalu ada pada setiap pagelaran wayang kulît pûrwâ. Penggunaannya, lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan pagelaran dan alur cerita. Secara garis besar, babak pathet nyamat merupakan bagian paling akhir dari seluruh bagian dan adegan dari babak pathet sângâ.
Pathet Manyurâ
Pathet Manyura
Babak pathet manyurâ, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, merupakan suatu istilah yang lazim digunakan untuk menyebut pembabakan waktu akhir pagelaran yang menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet manyurâ dan laras (tangga-nada) pélôg pathet barang.
Penggunaan istilah pathet manyurâ, sebenarnya kurang tepat, karena nyatanya pada masa penggunaannya dikenal adanya pemakaian laras (tangga-nada) sléndro pathet manyurâ dan juga laras (tangga-nada) pélôg pathet barang. Namun harus kita ingat, bahwa pada masa dahulu pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan laras (tangga-nada) sléndro saja. Karenanya, kemudian hanya dikenal istilah ‘pathet manyurâ’, yang sebenarnya merupakan pemendekan atau berasal dari istilah ‘laras sléndro pathet manyurâ’.
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ, pada babak pathet manyurâ, jika lengkap, terdiri dari :
Adegan jejer jangkep pathet manyurâ
Adegan jejer pathet manyurâ srambahan
Adegan perang brubûh
Adegan tayungan
Adegan tancep kayôn
Adegan golèk
Setiap adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada pada setiap pagelaran wayang kulît pûrwâ. Selain itu, setiap adegan tersebut, umumnya mempunyai gendhîng-gendhîng pengiringnya yang bersifat khas.
Panutup pagelaran
Babak panutup pagelaran, merupakan bagian terakhir dari suatu pagelaran. Babak ini, digunakan untuk menutup sebuah pagelaran. Waktu yang digunakan untuk melakukan babak ini, biasanya sangat pendek. Biasanya, dilakukan para panjak dengan cara memainkan satu buah gendhîng panutup pagelaran yang bersifat khas. Gendhîng semacam ini, biasanya dirancang dan disesuaikan dengan kelompok, grup, lembaga, instansi, dinas, perusahaan, atau organisasi kesenian para panjak. Namun, kadang-kadang bisa juga ditemukan ada sekelompok panjak yang memainkan suatu konser karawitan secara lengkap sebagai penutup suatu pagelaran, sehingga memakan waktu cukup panjang. Pada penutupan pagelaran wayang kulît pûrwâ, memainkan gendhîng panutûp pagelaran secara lengkap dan panjang, umumnya bertujuan menghabiskan waktu; atau, untuk menunggu pagi hari (setelah melakukan pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk).
_________________________________________________________
[1] Istilah pathet, mempunyai beberapa pengertian yang berlainan makna dan artinya. Penjelasan rinci tentang pathet; dibahas pada bagian lain dari buku ini.
[2] Tentang hal ini, dibahas secara khusus pada bagian lain dari buku ini.
[3] Adanya sejumlah istilah atau sebutan pada pembabakan pagelaran, misalnya, sebutan untuk pathet; yang pada dasarnya mengacu kepada berbagai istilah yang hanya terdapat pada laras (tangga-nada) sléndro; sedikit-banyak juga membuktikan bahwa laras (tangga-nada) sléndro kemungkinan besar memang sudah ada lebih dahulu.
[4] Situasi ini terjadi sebagai akibat masuk dan berkembangnya agama Islam di pulau Jawa. Pengembangan dan perubahan bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ oleh para wali pada masa itu, disebabkan agama Islam memerlukan media untuk melakukan penyebaran agama; sedangkan agama Islam tidak memperbolehkan penggunaan bentuk yang menyerupai manusia. Salah satu penyebabnya, adalah untuk menghindari terjadinya proses pemujaan terhadap benda-benda yang mirip manusia, sehingga bisa dianggap setara dengan pemujaan berhala. Dengan alasan itu, bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ lalu dikembangkan, diubah, dan disederhanakan (distilasi); sehingga seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ pada masa sebelumnya, lebih realistis, lebih mirip dengan gambar bentuk/rupa manusia dilihat dari arah samping depan.
Bentuk/rupa gambar manusia pada lukisan wayang tradisional Bali (yang sampai sekarang masih banyak dibuat orang), yang menggambarkan tokoh-tokoh atau manusia dari arah samping depan; merupakan cara penggambaran yang berasal dari ratusan tahun yang lampau, dan terbukti tidak mengalami perubahan sama sekali (hanya sarana atau alat gambar dan media gambarnya yang berubah)
Bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ versi Jawa pada masa lampau, bisa dilihat pada wayang kulît pûrwâ versi Bali (yang masih dimainkan orang sampai saat ini). Demikian pula bentuk pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Jawa pada masa lampau; kira-kira sama dengan bentuk pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Bali. Seperti diketahui, bentuk/rupa awal wayang kulît pûrwâ versi Bali, pada dasarnya berasal dari pulau Jawa (khususnya Jawa Timur). Bentuk/rupa asli wayang pûrwâ versi Jawa atau versi Bali ini (berbentuk gambar orang/manusia dilihat dari samping depan), bisa dilihat pada gambar-gambar timbul (relief) di dinding candi Penataran (di Jawa Timur). Pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Bali, hanya menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro, dan tidak menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg.
Sisa-sisa bentuk/rupa asli wayang pûrwâ, masih bisa kita kenali pada sejumlah tokoh wayang kulît pûrwâ gagrak Mataram (Yogyâkartâ). Ciri-cirinya, digambarkan mempunyai dua buah mata; wajahnya dilihat dari arah samping depan; serta mempunyai bentuk tubuhnya lebih pendek, sehingga lebih mewakili bentuk tubuh manusia dengan proporsi yang lebih realistis. Tokoh-tokoh wayang kulît pûrwâ yang bisa dianggap mewakili bentuk/rupa asli ini, misalnya : Anôman, atau tokoh-tokoh yaksâ (raksasa).
[5] Di wilayah pedalaman, suara gamelan bisa mencapai jarak yang relatif jauh (beberapa kilometer), tanpa bantuan perangkat sistem penguat suara.
[6] Gebyakan, adalah suatu kegiatan pentas, yang dilaksanakan sebagai salah satu cara untuk mempertunjukkan hasil suatu proses belajar atau berlatih, selama beberapa waktu tertentu; misalnya : pentas tari, pentas karawitan, pentas drama, pentas menyanyi, dan sebagainya.
[7] Olah karawitan, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan karawitan atau kemampuan memainkan ricikan gamelan.
[8] Olah beksâ, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan beksa (tari) atau kemampuan menari.
[9] Panembrâmâ, setara artinya dengan koor (menyanyi secara bersama-sama). Di Jawa Barat, lazim disebut rampak sekar.
[10] Olah swârâ, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan seni suara atau kemampuan untuk menyanyi dan menghasilkan mutu suara yang baik.
[11] Pola mengiringi babak pathet lindûr menggunakan gendhîng dan pola permainan karawitan gagrak (gaya, corak) Mataram ini, dimulai oleh Ki Nartô Sabdô almarhum; sejak sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, cukup banyak kalangan pecinta seni karawitan Jawa, yang menentang upaya Ki Nartô Sabdô ini; karena dianggap ‘nerak pakem’ (melanggar aturan baku). Pada masa itu, Ki Nartô Sabdô, menggunakan dan menggabungkan berbagai pola dan gagrak (corak, gaya, mahzab) permainan karawitan secara bebas. Secara umum, sebenarnya beliau mendasarkan pola permainan karawitan-nya pada gagrak (gaya, corak) Surâkartâ. Tetapi, mungkin karena dinamika dan kreatifitasnya yang sangat tinggi, beliau bisa menggabungkan berbagai gagrak (gaya, corak) ke dalam pola permainan karawitan-nya. Misalnya, gagrak Semarang, gagrak Surâkartâ, gagrak Mataram, gagrak Jâwâ-Timûr, atau gagrak Banyumas.
Ki Nartô Sabdô almarhum, tinggal di kota Semarang (rumah beliau, di jalan Anggrek, sedikit di sebelah utara lapang Simpang Lima, yang sangat terkenal di kota Semarang). Ini mungkin juga merupakan salah satu faktor penting. Karena dengan tinggal di kota Semarang yang jauh dari pusat-pusat mahzab lainnya (misalnya : Surâkartâ atau Yogyâkartâ), maka beliau dengan mudah bisa menghindarkan diri dari terjadinya berbagai pengaruh kuat dan benturan kepentingan. Selain itu, pada masa itu tidak ada dhalang lain yang bertindak seberani Ki Nartô Sabdô almarhum, dalam hal melakukan berbagai pengubahan, pengembangan, dan pola garap karawitan. Hal ini, dikerjakan secara sangat intensif bersama kelompok (grup) keseniannya, yang bernama ‘Côndông Raôs’. Berbagai gendhîng (lagu) yang sangat khas, telah dibuat oleh Ki Nartô Sabdô. Jumlahnya, mungkin telah mencapai ratusan; dan sampai saat ini gendhîng-gendhîng hasil karyanya ternyata masih disukai dan masih digunakan orang; termasuk oleh para dhalang lainnya.
Sejak tahun 1970-an itu, karena pengaruhnya yang sangat kuat, dan karena masyarakat pencinta kesenian Jawa ternyata lebih bisa menerima dan bahkan sama sekali tidak mempersoalkannya; maka pola permainan seperti ini akhirnya diterima juga oleh berbagai kalangan lain, yang semula menentangnya. Perlu diketahui juga, bahwa pada masa itu, melalui angket yang dibuat Radio Republik Indonesia (RRI), Ki Nartô Sabdô bahkan pernah menerima ‘gelar’ sebagai dhalang paling populer (paling disukai) oleh masyarakat. Bahkan di antara dhalang-dhalang lain, lama sesudah beliau meninggal sekalipun, nama Ki Nartô Sabdô rupanya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ini bisa dibuktikan, dengan masih banyaknya stasiun pemancar radio (terutama stasiun pemancar radio swasta niaga) yang dengan setia menyiarkan berbagai hasil rekaman pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dimainkan oleh Ki Nartô Sabdô almarhum; atau menyiarkan rekaman permainan karawitan-nya yang sangat khas. Pada masa ini, bahkan dengan mudah orang masih bisa membeli rekaman pagelaran wayang atau rekaman gendhîng uyôn-uyôn (dalam bentuk kaset), yang dimainkan oleh Ki Nartô Sabdô almarhum bersama kelompoknya, duapuluh atau tigapuluh tahun yang lampau.
Selasa, 18 Oktober 2011
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM JANGKUNG MANGKUNEGARA
Tentang Philosophi Nama Dapur Oleh: Wawan Wilwatikta Negara titi tentrem, nagari ingkang panjang punjung pasir wulir loh jinawi gemah ripah karta tur raharja. Negara yang aman tenteram, terkenal karena kewibawaannya, besar dan luas wilayahnya meliputi pegunungan sampai laut, hasil bumi yang melimpah, negara kaya dan rakyat sejahtera. Ungkapan tersebut seringkali kita mendengar dari sang dalang pada saat pementasan wayang kulit. Itulah gambaran keberhasilan kepemimpinan dari seorang raja yang membawa negara menuju kejayaan dan masyarakat yang adil sejahtera. Wujud kepemimpinan seorang pemimpin yang dinantikan bangsa ini sejak lama. ![]() Dhapur Jangkung Mangkurat sering disebut Jangkung Mangkunegoro diperkirakan dibuat jaman Mataram Akhir. (diambil dari Katalog Keris Kamardikan Award '08 dan Majalah Pamor) Jangkung Mangkunegara merupakan dapur keris Luk 3 (tiga) yang mempunyai 8 (delapan) ricikan, yaitu: Kembang Kacang, Lambe Gajah, Jalen, Pijetan, Tikel Alis, Sraweyan, Dua Sogokan berjajar bertemu di ujung bilah, dan Greneng. Kata Jangkung berarti menuntun, melindungi, mengawasi dan menjaga dari kejauhan, sedangkan Mangkunegara dapat berasal dari kata Mangku dan Negara. Mangku yang diartikan menopang/menyangga sedangkan Negara dapat diartikan bumi, wilayah beserta segala yang hidup dan tumbuh di atasnya. Jangkung Mangkunegara mempunyai arti mengatur dan memerintah negara atau wilayah yang menjadi kekuasaannya. Berdasarkan nama tersebut, tersirat makna simbolik terkait dengan suatu ajaran kepemimpinan. Kepemimpinan Dalam Budaya Jawa Dalam konsep kepemimpinan Jawa, kekuasaan bukan diperuntukkan bagi seorang pemimpin, akan tetapi lebih menekankan pada dampak yang baik bagi rakyat dan negara. Sebuah kekuasaan dianggap berhasil apabila negara dalam keadaan tenteram, sejahtera, adil dan rakyat tenang dan puas melaksanakan perkerjaan sehari-hari. Hasil dari kepemimpinan seorang raja diperoleh tanpa tindakan paksa, seolah mengalir dengan sendirinya, atau seolah-olah tanpa usaha yang mencolok. Sehingga, dalam kondisi demikian kekuasaan seorang raja tidak perlu diperlihatkan. Jika tercapai ketenangan sedemikian rupa dalam suatu negara, maka kekuasaan dan kewibawaan seorang pemimpin/raja akan terlihat dengan sendirinya di mata rakyat. Dalam paham kepemimpinan Jawa, justru penguasa yang baik harus mencegah tindakan kekerasan. Kehalusan dalam bersikap dan berperilaku, antara lain: halus dalam bertutur kata, halus dalam memberi perintah, bersikap sopan terhadap orang lain menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang beradab. Kepemimpinan secara halus menunjukkan bahwa dia dapat mengontrol dirinya secara sempurna dan dengan demikian mempunyai kekuatan batin. Sebaliknya, sikap kasar dinilai rendah, kurang berbudaya, kurang kontrol diri merupakan cermin kelemahan batin. Bersikap kasar dan emosional, justru akan memperlemah kedudukannya sebagai seorang pemimpin. Bersikap halus bukan berarti tidak tegas, tetapi lebih menekankan kontrol diri terhadap sesuatu permasalahan. Pemimpin seharusnya bersikap tanuhita (mengayomi dan njangkungi), tidak keras hati memaksakan kehendaknya atau bersikap kasar untuk mempertahankan kewibawaannya. Hal demikian, tentunya menuntut suatu pemerintahan yang dijalankan dengan suatu sistem ketatanegaraan dan perundang-undangan yang baik dan kepribadian seorang pemimpin/raja yang penuh suri tauladan. Uraian di atas merupakan penjabaran arti Jangkung dalam sebuah konsep kepemimpinan Jawa. Makna Dalam Ricikan Jangkung Mangkunegara Ada 8 (delapan) ricikan pada dapur Jangkung Mangkunegara dengan ulasan makna sebagai berikut: Kembang Kacang, merupakan simbol untuk selalu tumbuh berkembang. Seorang pemimpin hendaknya berorientasi ke depan dalam menjalankan tugasnya agar sesuatu yang menjadi tanggungjawabnya akan tumbuh berkembang. Suatu pertumbuhan yang terencana dengan baik. Kembang kacang juga melambangkan sikap optimistik dalam menjalankan kepemimpinan. Lambe Gajah, merupakan simbol ucapan yang dapat dipercaya. Seorang raja/pemimpin harus teguh memegang janji yang telah diucapkan, sebagaimana sesanti Sabda Pandita Ratu Tan Kena Wola-Wali. Ucapan seorang raja adalah janji, sehingga harus dilaksanakan, tidak boleh dibatalkan atau diingkari. Esuk Dhele Sore Tempe (pagi hari Kedelai, sore hari sudah berubah menjadi Tempe) merupakan ungkapan yang harus dihindari. Ungkapan tersebut menunjukkan tabiat seseorang yang dengan mudahnya merubah sikap perkataanya sekehendak hati, berubah pendirian dalam waktu yang singkat (plin plan). Sikap yang demikian akan mendatangkan kesulitan bagi dirinya maupun orang lain. Sehingga setiap permasalahan hendaknya dipelajari dan dipertimbangkan secara matang dengan segala konsekuensinya, sebelum pengambilan keputusan. Jalen, dari asal kata Jalu (taji ayam jago) merupakan simbol keberanian. Seorang pemimpin harus berani mengambil risiko setiap keputusan yang diambil. Meskipun tidak populer, asal bertujuan untuk kesejahteraan rakyat, tentunya keputusan terbaik harus diambil. Harus berani bersikap adil terhadap semua lapisan masyarakat, baik terhadap rakyat maupun pejabat, bahkan keluarga sendiri. Keberanian dalam membela kebenaran atau berpijak pada aturan, tanpa pandang bulu. Keyakinan dalam menjalankan kebenaran sesuai ajaran Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, yang berarti kejahatan dan kekerasan akan terkalahkan dengan kehalusan budi, dalam arti tidak harus suatu kekerasan dilawan dengan kekejaman. Dalam hal ini seorang pemimpin harus berani tanpa ragu dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya, kapan dia harus memberikan toleransi dan kapan dia harus bertindak tegas. Pijetan, melambangkan sikap berlapang hati dan sabar. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai hati sedalam lautan dan seluas samudera. Pertanda seorang pemimpin yang mampu menerima segala aspirasi yang berkembang dimasyarakat dan sabar menerima setiap kritikan terhadap dirinya dan segala nasihat serta saran dari para bawahannya. Tikel Alis, melambangkan berpenampilan yang baik, roman muka cerah yang menunjukkan keramah tamahan dan senyuman yang menyenangkan bagi orang lain. Menghadapi masalah bagaimanapun sulitnya, harus dihadapi dengan muka manis. Perasaan marah dan tidak suka, harus disembunyikan lewat senyum manis, sebaliknya kemarahan yang meledak-meledak merupakan tindakan yang kurang pantas. Tikel Alis juga melambangkan segala sikap tindakan selalu ada batas-batasnya. Sogokan rangkap dan Ada-ada sampai ke ujung bilah, melambangkan keharusan bagi seorang pemimpin untuk selalu tekun menggali potensi diri, menuangkan dan mewujudkan gagasan, mengembangkan kreatifitas kearah yang positif. Hal tersebut dilakukan tanpa henti di tengah jalan, guna menuntaskan setiap tujuan. Sraweyan, melambangkan kemampuan untuk menjaga keselarasan dan beradaptasi. Seorang pemimpin tidaklah dituntut untuk merubah tatanan yang sudah ada dan baik, tetapi justru menjaga agar keselarasan tidak terganggu. Sebagai seorang pemimpin sebaiknya mau belajar hidup ditengah-tengah macam struktur dan keadaan, entah baik atau buruk. Melalui sikap yang mau membaur (ajur-ajer) itu, akan membantu untuk mengetahui setiap permasalahan yang berkembang di masyarakat, sehingga dapat diciptakan keadaan adil dan makmur. Greneng, merupakan simbol momong rasa atau kemampuan mengendalikan diri. Kemampuan ini merupakan inti kesaktian seorang raja. Pada jaman dahulu, olah rasa sering dicapai dengan cara bertapa atau bersemedi. Sebagaimana laku tapa atau semedi, dalam konteks pengertian modern, bertapa merupakan konsekuensi menjalankan ibadah dan ajaran agamanya secara baik dan benar. Keutamaan dalam laku tersebut yaitu pengendalian diri terhadap keduniawian (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi kewajibannya secara bertanggung jawab (rame ing gawe). Seorang pemimpin atau raja akan kehilangan kasekten (kesaktian) jika mengikuti hawa nafsunya dan mengejar kepentingan pribadi/pamrih dan mulai malas bekarya. Pamrih akan melunturkan kekuasaanya, karena pusat pengendalian diri tidak terletak pada batinnya lagi, tetapi pribadinya lebih banyak dipengaruhi unsur-unsur negatif dari luar. Jika kondisi sudah demikian, sebenarnya seorang pemimpin/raja sudah mulai kehilangan kesaktiannya. Selain itu sering menyertakan Pudak Setegal sebagai lambang dari kokohnya kepemimpinan. Tiga Konsep Kepemimpinan Konsep kepemimpinan Jawa dapat dijabarkan dalam beberapa ajaran yang terkait dengan makna dalam setiap ricikan keris dapur Jangkung Mangkunegara. Menurut ajaran Sastra Jendra Hayuningrat, sosok pemimpin yang ideal hendaknya memiliki kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). Hal tersebut telah lama tersurat dalam ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, yang antara lain memuat kriteria bagi seorang pemimpin: 1. Kawruh tan wonten malih, artinya selalu mengembangan diri dengan menuntut ilmu pengetahuan yang nyata (ilmiah), 2. Pangruwating barang sakalir, artinya selalu berusaha membebaskan diri dari segala nafsu angkara murka, 3. Ngelmu wewadining bumi kang sinengker hyang jagad pratingkah, artinya selalu mempelajari ilmu rahasia tentang alam semesta yang berasal dari Tuhan. Handarbeni, Hangrungkebi, Mulat Sarira Hangrasa Wani, seorang pemimpin hendaknya mampu mengolah hati dengan cara mawas diri. Dalam kaitannya ini orang Jawa mengenal tiga (3) falsafah psikologis mawas diri, yaitu: sikap rumangsa handarbeni yang berarti merasa memiliki dan mencintai negara, Hangrungkebi, berani membela negara demi keadilan dan kebenaran, Mulat sarira hangrasa wani, berani instropeksi dan mengoreksi diri secara jujur dan obyektif, sehingga mau dan mampu merasakan apa yang dirasakan rakyatnya. Adil, Berbudi, Wicaksana, dalam konteksi ini seorang raja/pemimpin tradisional harus memiliki 3 watak: adil (adil tan pilih sih), bermurah hati dan jujur (berbudi), bijaksana (wicaksana), ketiga syarat itu merupakan syarat yang sangat universal bagi seorang pemimpin. Pemimpin harus menegakkan wibawa dan kehormatan dengan sikap berbudi bawa leksana, ambeg adil paramarta ( berbudi luhur, mulia, adil serta penuh kasih sayang terhadap siapa saja). Hamong, Hamot, Hamemangkat, Hamong, seorang pemimpin (raja) harus sanggup berperan sebagai pamong yaitu orang yang melayani bukan sebagai seorang yang selalu minta dilayani. Melayani berarti bertindak bukan sebagai penguasa, akan tetapi sebagai abdi rakyat, menuntut sikap menjauhi rasa kecewa dan menjauhi sifat mudah mencela. Hamot, berarti mampu menerima (amot/mewadahi) semua hal yang didengar atau disampaikan oleh orang lain. Mendengarkan keluhan dan aspirasi dari rakyat. Hamemangkat, menjaga derajat dan kedudukan sebagai seorang pemimpin. Sebagai seorang pemimpin/raja harus menjaga martabat pribadi dan negara dengan menjaga tingkah laku yang baik (moralitas) dan menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Adigang, Adigung, Adiguna, Tiga larangan bagi seorang pemimpin, yaitu Adigang, Adigung, Adiguna. Adigang, berarti seorang pemimpin tidak selayaknya mengandalkan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang dan berlaku sombong. Adigung, berarti seorang pemimpin jangan mengandalkan kepandaiannya untuk membodohi dan membohongi rakyat. Adiguna, berarti seorang pemimpin jangan berani dan pintar berdiplomasi hanya untuk mengingkari janji atau kebenaran (berdalih). Sebaiknya pemimpin harus rereh, riris dan ngati-ati (sabar, teliti dan hati-hati) dalam menjalankan pemerintahan. Kesimpulan Secara umum, dapur Jangkung Mangkunegara mempunyai makna bahwa seorang pemimpin hendaknya memberikan perlindungan dan memelihara secara menyeluruh terhadap segala sesuatu dalam wilayah kekuasaannya dan menjalankan tugas secara bertanggungjawab. Budi pekerti dan laku susila (moral) yang harus menjadi teladan bagi masyarakat. Simbolisasi dalam Jangkung Mangkunegara membentuk pola kepemimpinan yang dapat dijadikan inspirasi bagi setiap pemimpin dalam mengelola kekuasaan dan berinteraksi dengan masyarakat. Semakin kuat struktur pemerintahan dan sistem kepemimpinan, maka semakin tidak tampak kekuasaan seorang raja. Ia menjalankan dan mengelola negara dengan sistem tata negara dan perundang-undangan yang baik, sehingga fungsi-fungsi pemerintahan berjalan dengan semestinya. Keberhasilan kepemimpinan dari kekuasaan seorang raja terukur dari kesejahteraan bagi negara dan rakyatnya. Itulah antara lain cita-cita yang diusung dari suatu ajaran yang tersimbolkan dalam dapur keris Jangkung Mangkunegara. Raja yang baik hendaknya menjaga keseimbangan antara kekuasaan besar dengan kewajiban dan tanggungjawab yang besar pula. Bacaan: - Budiono Herusatoto, Wejangan Kepemimpinan dalam Serat Sastra Cetha, SKH Kedaulatan Rakyat, Lembar Adiluhung, Minggu 24 Februari 2008, Yogyakarta - Djoko Dwiyanto, Kajian : Serat Pustoko Rojo Purwo, Pura Pustaka, Yogyakarta, 2006 - M.Damami,dkk. Kajian: Kanjeng Kyai Surya Raja ( Kitab Pusaka Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat).Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia, Yogyakarta,2002. - Sri Sunan Pakubuwono IV, Serat Wulangreh, terjmh. Darusuprapta,Citra Jaya Murti, Surabaya, 1996 - Suyami, Konsep Kepemimpinan Jawa (Dalam Ajaran Sastra Cetha dan Astha Brata), Kepel Press, Yogyakarta. 2008. - Wawan Susetya, Kepemimpinan Jawa, Narasi, Yogyakarta, 2007 |
Rincikan Keris
RICIKAN KERIS adalah perincian dari bagian-bagian sebilah keris dengan istilah-istilah yang telah ada turun-temurun. Ricikan sebilah keris dapat dianalogikan dengan suku cadang atau komponen mobil. Di antara komponen mobil ada yang namanya piston, gardan, bumper, pelek, dashboard, altenator, dlsb. Demikian pula, tiap bagian keris yang berlainan bentuknya berlainan pula namanya.
Rincikan keris juga merupakan variasi dari sebilah keris untuk dapat disebut dhapurnya. Misalnya pada keris sederhana dhapur Brojol hanya memiliki rincikan Blumbangan atau pejetan saja. Sedangkan Dhapur Sepaner adalah memiliki rincikan sekar kacang, tikel alis, sraweyan, sogokan dan greneng. Setiap nama dhapur keris ditentukan oleh adanya Rincikan keris dan bilah lurus atau bentuk luknya.
Secara garis besar, sebilah keris dapat dibagi atas tiga bagian yakni bagian bilah atau wilahan, bagian ganja dan bagian pesi. Bagian wilahan juga dapat dibagi tiga, yakni bagian pucukan yang paling atas, awak-awak atau tengah dan sor-soran atau bidang bawah. Pada bagian sor-soran inilah ricikan keris paling banyak ditempatkan.
Nama-nama ricikan keris adalah:- Pesi
- Metuk
- Gonjo
- Greneng
- Rondo Nunut
- Buntut Cecak
- Punukan
- Dho
- Ri Pandan (8+9 = Ron Dho)
- Tingil
- Sraweyan
- Bungkul
- Janur
- Sogokan (ada yang rangkap ada yang depan saja)
- Poyuhan
- Pejetan/Blumbangan
- Gandik
- Tikel Alis
- Jenggot
- Sekar Kacang atau Kembang Kacang
- Jalen
- Lambe Gajah
- Pundak atau Sumping
- Pudak Sa’tegal Depan
- Pudak Sa’tegal Belakang
- Adha-adha atau Geger Sapi
- Lis-lisan
- Gusen
- Kruwingan atau Gulo Milir
- Kruwingan Cucuk Manuk
- Pucukan Mbuntut Tumo
- Pucukan Anggabah Kopong
- Sogokan Sampir atau Sinebo
- Bawang Sebungkul
- Sekar Kacang Pogok
- Lambe Gajah Rangkep
- Gonjo Wuwung
- Gonjo Kelap Lintah
- Gonjo Wilut
- Kanyut
- Wetengan Gonjo
- Sirah Cecak
- Buntut Cecak Sebit Lontar
- Sirak Cecak Melinjo atau Nyangkem Kodok
- Buntut Cecak Nguceng Mati
- Gandik Pethuk atau Laler Mengeng
- Mendak
- Ukir atau Deder
- Kinatah emas
Nama bagian-bagian atau Rincikan Keris ini digunakan untuk keris se Nusantara. Hanya sering ada perbedaan penyebutan dipengaruhi oleh bahasa lokal. Misalnya di Sulawesi menyebut Keris itu Sele atau Tappi, Gonjo adalah Kancing, Pesi disebut Oting. Demikian pula di Madura Pesi disebut Pakseh, Gonjo disebut Ghencah, bilah keris disebut Ghember sementara di Bali ada beberapa perbedaan pula menyebut Keris dengan Kadutan, Pesi disebut Panggeh, Gonjo disebut Ganje, Hulu keris disebut Danganan dslb.
Untuk pengetahuan perkerisan, baik sebagai kolektor atau pemerhati, ricikan keris walaupun merupakan pengetahuan dasar menjadi sangat penting karena setidaknya dapat untuk membedakan jenis-jenis Dhapur. Seseorang tidak akan mungkin mengetahui nama dapur bilamana ia tidak hafal terhadap ricikan keris ini.
DHAPUR KERIS MENURUT PAKEM
Keris Lurus :- Betok
- Brojol
- Tilam Upih
- Jalak
- Panji Anom
- Jaka Supa
- Semar Betak
- Regol
- Karna Tinanding
- Kebo Teki
- Kebo Lajer atau Mahesa Lajer
- Jalak Ruwuh
- Sempane Bener
- Jamang Murub
- Tumenggung
- Pantrem
- Sinom Worawari
- Condong Campur
- Kalamisani
- Pasopati
- Jalak Dinding
- Jalak Sumelang Gandring
- Jalak Ngucup Madu
- Jalak Sangu Tumpeng
- Jalak Ngore
- Mundarang
- Yuyu Rumpung
- Mesem
- Semar Tinandu
- Ron Teki
- Dungkul
- Kelap Lintah
- Sujen Ampel
- Lar Ngatap
- Mayat Miring
- Kanda Basuki
- Putut Kembar
- Mangkurat
- Sinom
- Kala Munyeng
- Pinarak
- Tilam Sari
- Jalak Tilam Sari
- Wora Wari
- Marak
- Damar Murub
- Jaka Lola
- Sepang
- Cundrik
- Cengkrong
- Naga Tapa
- Jalak Ngoceh
- Kala Nadah
- Balebang
- Pundhak Sategal
- Kala Dite
- Pandan Sarawa
- Jalak Barong atau Jalak Makara
- Bango Dolok Leres
- Singa Barong Leres
- Kikik
- Mahesa Kantong
- Maraseba
- Jangkung Pacar
- Jangkung Mangkurat
- Mahesa Nempuh
- Mahesa Soka
- Jangkung Segara Winotan (Mangku Negoro)
- Jangkung
- Campur Bawur
- Tebu Sauyun
- Bango Dolok
- Lar Monga
- Pudhak Sategal Luk 3
- Singa Barong Luk 3
- Kikik Luk 3
- Mayat
- Wuwung
- Mahesa Nabrang
- Anggrek Sumelang Gandring
- Pandawa
- Pandawa Cinarita
- Pulang Geni
- Anoman
- Kebo Dengen
- Pandawa Lare
- Pudhak Sategal Luk 5
- Urap – Urap
- Naga Salira
- Naga Siluman
- Bakung
- Rara Siduwa
- Kikik Luk 5
- Kebo Dengen
- Kala Nadah Luk 5
- Singa Barong Luk 5
- Pandawa Ulap
- Sinarasah
- Pandawa Pudak Sategal
- Carubuk
- Sempana Bungkem
- Balebang Luk 7
- Murna Malela
- Naga Keras
- Sempana Panjul
- Jaran Guyang
- Singa Barong Luk 7
- Megantara
- Carita Kasapta
- Naga Kikik Luk 7
- Sempana
- Kidang Soka
- Carang Soka
- Kidang Mas
- Panji Sekar
- Jurudeh
- Paniwen
- Panimbal
- Sempana Kalentang
- Jaruman
- Sabuk Tampar
- Singa Barong Luk 9
- Buto Ijo
- Carita Kanawa Luk 9
- Kidang Milar
- Klika Benda
- Carita
- Carita Daleman
- Carita Keprabon
- Carita Bungkem
- Carita Gandu
- Carita Prasaja
- Carita Genengan
- Sabuk Tali
- Jaka Wuru
- Balebang Luk 11
- Sempana Luk 11
- Santan
- Singa Barong Luk 11
- Naga Siluman Luk 11
- Sabuk Inten
- Jaka Rumeksa
- Sengkelat
- Parung Sari
- Caluring
- Johan Mangan Kala
- Kantar
- Sepokal
- Lo Gandu
- Nagasasra
- Singa Barong Luk 13
- Carita Luk 13
- Naga Siluman Luk 13
- Mangkunegoro
- Bima Kurdo Luk 13
- Kalawelang Luk 13
- Carang Buntala
- Sedet
- Raga Wilah
- Raga Pasung
- Mahesa Nabrang
- Carita Buntala Luk 15
- Carita Kalentang
- Sepokal Luk 17
- Kancingan
- Ngamper Buta
- Trimurda
- Karacan
- Bima Kurda Luk 19
- Kala Tinanding
- Trisirah
- Drajid
- Bima Kurda Luk 25
- Taga Wirun
- Kala Wendu Luk 29
Dapur Keris Lurus :
- Ranggasemi
- Jaka Wijaya
- Rangga Perwangsa
- Demang Drawalika
- Parung Carita
- Parung Sari
Dapur Keris Luk 5 : Tangan
Dapur Keris Luk 7 : Palang Soka
Dapur Keris Luk 9 : Rang Suting
Dapur Keris Luk 11 : Lawat Nyuk
Dapur Keris Luk 13 : Lawat Buah
Dapur Keris Luk 15 : Jeruji
Macam – Macam Dapur Tombak Menurut Pakem Jawa :
Dapur Tombak Lurus :
- Baru
- Baru Teropong
- Baru Kuping atau Sipat Kelor
- Buta Meler
- Pandu
- Panggang Lele
- Daradasih
- Rangga
- Panggang Welut
- Dora Manggala
- Seladang Hasta
- Daradasih Menggah
- Karacan
- Megantara
- Lung Gandu
- Bandotan
- Carita Anoman
- Carita Blandongan
- Cacing Kanil (Luk 3, 5, 7)
- Banyak Angkrem
- Kuntul Ngantuk
- Tunjung Astra
- Nagendra
- Wulan Tumanggal
- Dwisula
- Trisula
- Catursula
- Pancasula
- Rosan Dita
- Lameng
- Bandol
- Luwuk
- Lar Bango
- Sada
- Tebalung
- Suduk Maru
- Sokayana
- Sabet
Sumber : Ensiklopedi keris Oleh Bambang Harsrinuksmo
Langganan:
Postingan (Atom)